Rabu, 18 Mei 2022 – 5.45pm JST
Tokyo, Japan
“Mmmhhh!.... Mnggh!”
Kuremas pantat mungil yang montok itu.
“Aaahh... Nggh... Oohh.. Osoi.... Sh.. Shite kudasai (pelan-pelan...)”
Mulutnya yang mungil menganga, mengeluarkan desahan panjang.
“Nhhh... Mhh... ini s.... sempi... t... sekali... Mmhh!” ujarku, tercekat.
Tanganku meremas dadanya yang sangat bulat, 30D... Putingnya yang merah
jambu tegak berdiri, menantangku untuk menjilatinya. Tubuh gadis mungil
itu bersimbah keringat, bergerak naik-turun di atasku.
“Oohh... Ngghh... K... Kim.... Och... i... Enn.. ak banget...”
Vaginanya yang mulus tak berbulu membungkus penisku, menerima hujaman demi hujaman keras ke dalam rahimnya.
“Aahh.. Anghh... Annh... P.... Pa...”
Matanya setengah terpejam menikmati, tapi masih menampakkan irisnya yang biru dan hijau cantik.
“Aahh... Aah... P... Papiii...”
Marcella mendongak, memejamkan mata. Kuciumi lehernya yang kurus dan
jenjang. Rambut hitam panjangnya tergerai, kontras dengan kulitnya yang
sangat putih mulus seperti susu.
“Ell... Ella... Papi mau... Keluar... Ngh...” kataku, tertahan.
“Nggh?? Lagi...? Mmmnhh... Papi... Tung.. Tunggu.. Bentar... Nhh...
Bareng...” kata Ella. Ciumanku pindah ke pundaknya, genjotanku makin
cepat menghantam rahimnya.
“Nnnhh... Ga... Tahann... Ella.... Ell... ELLA... AAH...”
Kuledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Satu, dua, empat, enam, tujuh.. Tak berhenti-berhenti.
“Paapp... Pappii... NNGGH... AAHHHH!!!”
Ella orgame untuk yang kelima kalinya dan squirting sangat kencang
hingga penisku terlepas dari vaginanya. Ella menyemprotkan cairan bening
itu berkali-kali. Air susu juga menyemprot keluar dari putingnya. Ia
terkulai lemas di atas ranjang, terengah-engah, memejamkan mata. Penisku
masih tegak berdiri, masih meminta lagi.
“Hhh... Hh... Mmhh... Papiii... Masih mau lagii?” tanyanya lemas. Tapi
mukanya merona merah segar. Aku tersenyum dan mengangguk. Ella
menggeleng.
“Pantes dulu Mami Vany sampe mau sama Papi... Kuat banget...” katanya. Aku tertawa.
“Sampe sekarang juga masih mau,” belaku. Kukecup bibir anakku perlahan. “... Mami Cherry juga mau koq.”
“Papi sih parah loh...” kata Ella.
“Kenapa?”
“Udah ngehamilin adek sendiri... Dua kali, lagi...” katanya pura-pura
merajuk. “...Terus anak sendiri di ML-in sejak umur 9 taon belom tau
apa-apa... Sekarang sampe hamil segala...”
Aku tertawa. Kebelai perut Ella yang sangat buncit, tak sebanding dengan
tubuh mungilnya dan wajahnya yang polos. Ella, anakku yang sekarang
berusia 13 tahun, sedang 7 bulan mengandung anakku, ayahnya.
“Siapa suruh punya toket kayak gini...” kataku, meremas dadanya yang
super bulat dan menggiurkan. Air susu mengalir dari kedua putingnya yang
mungil. Ella mengernyit.
“Maminya aja kayak gitu...” belanya. Aku tertawa. Kucium bibir Ella, yang langsung memasukkan lidahnya, membelit lidahku.
“Tetep aja Papi yang parah...” katanya setelah melepas ciuman.
“Tapi kamu seneng di-parah-in... Parahan siapa hayo...” belaku.
Ella tertawa renyah, mirip sekali dengan tawa ibunya.
“Siapa suruh senjatanya 28cm gini...” balasnya sambil menatap mataku
dalam-dalam. Kutatap mata anakku. Aku tak pernah berhenti menyukai
matanya yang berlainan warna. Matanya selalu menyihirku.
“Ayo cepet, ah! Ntar kalo mami-mami pada pulang bisa-bisa minta ikutan... Papi ga kuat ntar...” ujarku, terlepas dari lamunanku.
Kubalikkan badan Ella perlahan hingga tertelungkup. Ella menungging
otomatis. Kutepuk pantat mungil anakku yang putih mulus, kutusukkan
penisku ke dalam anusnya, sempit sekali.
“Nnnnngghh.. Iihh... Papi...”