Rabu, 18 Mei 2022 – 5.45pm JST
Tokyo, Japan
“Mmmhhh!.... Mnggh!”
Kuremas pantat mungil yang montok itu.
“Aaahh... Nggh... Oohh.. Osoi.... Sh.. Shite kudasai (pelan-pelan...)”
Mulutnya yang mungil menganga, mengeluarkan desahan panjang.
“Nhhh... Mhh... ini s.... sempi... t... sekali... Mmhh!” ujarku, tercekat.
Tanganku meremas dadanya yang sangat bulat, 30D... Putingnya yang merah
jambu tegak berdiri, menantangku untuk menjilatinya. Tubuh gadis mungil
itu bersimbah keringat, bergerak naik-turun di atasku.
“Oohh... Ngghh... K... Kim.... Och... i... Enn.. ak banget...”
Vaginanya yang mulus tak berbulu membungkus penisku, menerima hujaman demi hujaman keras ke dalam rahimnya.
“Aahh.. Anghh... Annh... P.... Pa...”
Matanya setengah terpejam menikmati, tapi masih menampakkan irisnya yang biru dan hijau cantik.
“Aahh... Aah... P... Papiii...”
Marcella mendongak, memejamkan mata. Kuciumi lehernya yang kurus dan
jenjang. Rambut hitam panjangnya tergerai, kontras dengan kulitnya yang
sangat putih mulus seperti susu.
“Ell... Ella... Papi mau... Keluar... Ngh...” kataku, tertahan.
“Nggh?? Lagi...? Mmmnhh... Papi... Tung.. Tunggu.. Bentar... Nhh...
Bareng...” kata Ella. Ciumanku pindah ke pundaknya, genjotanku makin
cepat menghantam rahimnya.
“Nnnhh... Ga... Tahann... Ella.... Ell... ELLA... AAH...”
Kuledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Satu, dua, empat, enam, tujuh.. Tak berhenti-berhenti.
“Paapp... Pappii... NNGGH... AAHHHH!!!”
Ella orgame untuk yang kelima kalinya dan squirting sangat kencang
hingga penisku terlepas dari vaginanya. Ella menyemprotkan cairan bening
itu berkali-kali. Air susu juga menyemprot keluar dari putingnya. Ia
terkulai lemas di atas ranjang, terengah-engah, memejamkan mata. Penisku
masih tegak berdiri, masih meminta lagi.
“Hhh... Hh... Mmhh... Papiii... Masih mau lagii?” tanyanya lemas. Tapi
mukanya merona merah segar. Aku tersenyum dan mengangguk. Ella
menggeleng.
“Pantes dulu Mami Vany sampe mau sama Papi... Kuat banget...” katanya. Aku tertawa.
“Sampe sekarang juga masih mau,” belaku. Kukecup bibir anakku perlahan. “... Mami Cherry juga mau koq.”
“Papi sih parah loh...” kata Ella.
“Kenapa?”
“Udah ngehamilin adek sendiri... Dua kali, lagi...” katanya pura-pura
merajuk. “...Terus anak sendiri di ML-in sejak umur 9 taon belom tau
apa-apa... Sekarang sampe hamil segala...”
Aku tertawa. Kebelai perut Ella yang sangat buncit, tak sebanding dengan
tubuh mungilnya dan wajahnya yang polos. Ella, anakku yang sekarang
berusia 13 tahun, sedang 7 bulan mengandung anakku, ayahnya.
“Siapa suruh punya toket kayak gini...” kataku, meremas dadanya yang
super bulat dan menggiurkan. Air susu mengalir dari kedua putingnya yang
mungil. Ella mengernyit.
“Maminya aja kayak gitu...” belanya. Aku tertawa. Kucium bibir Ella, yang langsung memasukkan lidahnya, membelit lidahku.
“Tetep aja Papi yang parah...” katanya setelah melepas ciuman.
“Tapi kamu seneng di-parah-in... Parahan siapa hayo...” belaku.
Ella tertawa renyah, mirip sekali dengan tawa ibunya.
“Siapa suruh senjatanya 28cm gini...” balasnya sambil menatap mataku
dalam-dalam. Kutatap mata anakku. Aku tak pernah berhenti menyukai
matanya yang berlainan warna. Matanya selalu menyihirku.
“Ayo cepet, ah! Ntar kalo mami-mami pada pulang bisa-bisa minta ikutan... Papi ga kuat ntar...” ujarku, terlepas dari lamunanku.
Kubalikkan badan Ella perlahan hingga tertelungkup. Ella menungging
otomatis. Kutepuk pantat mungil anakku yang putih mulus, kutusukkan
penisku ke dalam anusnya, sempit sekali.
“Nnnnngghh.. Iihh... Papi...”
Wednesday, January 1, 2014
ACYS 7: Two Pregnant Girls
Jumat, 20 Maret 2009 – 14.52 SGT
Singapore“Mmhh… Mhhh!! Hunny!”
“Oohh… Cher… Cherr… Nnhhh…”
Kutampar pantat Cherry yang super besar, kemudian kuremas kencang-kencang. Kenyal sekali rasanya. Cherry memejamkan mata erat-erat, menikmati. Aku menghujamkan penisku berkali-kali ke dalam anusnya yang super-sempit. Luar biasa.
“Nngggghhh… Aaahh.. Aaaahh sayang gue mau keluarrrr…”
“Lagi?? Mmhh… Ohh Cherryy…”
“Iyaaa… Iiiyaaa AAAHH!!!!”
Cherry orgasme untuk yang kelima kalinya siang itu, squirting kencang-kencang. Tubuh seksinya merosot ke lantai. Tapi aku masih belum puas; kucabut penisku dari anusnya, dan segera kuhujamkan ke dalam vaginanya. Cherry mengerang dan mendesah nikmat. Kuangkat tubuhnya perlahan hingga terduduk di pangkuanku, dan aku pun mulai menggerakkan pinggulku naik-turun.
Siang itu aku dan Cherry sahabatku sedang ML di ruang latihan tari di kampusku. Entah kenapa seusai kuliah tadi kami sangat ingin ML, maka kami pergi ke ruangan ini, sekalian menunggu jam latihan tari Cherry sekitar pukul setengah empat sore nanti.
“Mmmhhh… Diittt… Pelann… Pelann… Ngghhh…” kata Cherry. Tangannya mengelus perutnya yang buncit.
Yap, sahabatku ini sedang hamil 5 bulan. Anakku, anak-anakku tepatnya, karena janin yang ada di dalam rahimnya ini kembar. Ah, terlalu panjang jika kuceritakan di sini semuanya.
Kuremas dadanya (34C, lumayan… Sejak hamil dada Cherry terus membesar), kumainkan puting susu sahabatku dengan jemariku. Kuciumi perlahan lehernya yang kurus jenjang. Cherry menjadi bertambah cantik sejak hamil; kulitnya yang sawo matang mulus sekali menjadi tambah halus dan mulus, dadanya menjadi bertambah besar dan kencang, perutnya yang buncit seksi sekali, dan yang jelas pantatnya yang memang sudah pada dasarnya montok dan seksi menjadi bertambah besar dan menggiurkan.
Hujamanku semakin kencang dan kuat ke dalam vagina Cherry. Tanganku merogoh ke bawah, meremas-remas pantatnya yang super montok. Aku hampir klimaks. Tangan kanan Cherry menopang perutnya yang buncit.
“Aaahhh… Aaahh.. Mmmmhhh… Mmnnhh.. Nnhh…” Cherry mendesah tak karuan.
“Cherr.. Cherr gue mau keluar!! Mmmhh!!!” desahku, tercekat.
“NNgghhh keluarr…inn…. Aaahh…”
“MMMMMMHHHH!!! CHERRYY!!!”
Kucabut penisku dari vaginanya dan kuledakkan spermaku di wajah cantik sahabatku. Cherry memejamkan mata, membuka mulutnya lebar-lebar menerima bulir demi bulir cairan putih kentalku. Cherry menggenggam penisku, dijilat dan disedotnya sisa spermaku hingga bersih. Enak sekali.
Aku bersandar lemas ke dinding ruang latihan. Cherry terengah, duduk bersandar perlahan. Tubuhnya yang sedang hamil bersimbah keringat.
“Great… Cumshot pas gue mau latihan,” katanya bercanda. Aku tertawa, mengambil celana dalamku dan memakainya.
“Ah lu suka aja,” jawabku. Cherry nyengir dan berdiri goyah, mengambil pakaiannya.
“Ntar malem jadi di tempat lu?” tanyanya. Aku mengangguk. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Sejak pagi⎯ralat, sejak tengah malam⎯kejutan demi kejutan menyenangkan telah kuterima dari Vany, teman-teman kampus, dan sekarang Cherry, dan malam ini kami akan makan malam dan merayakannya di apartemenku.
“Bantuin masaknya ya, Cher,” pintaku sambil mengancingkan celana jeans. Cherry masih telanjang bulat.
“Pastinya… Ah tapi Vany kan jago banget masak,” jawab Cherry sambil mengelap mukanya dengan handuk.
“Hahaha tapi lagi hamil 8 bulan gitu kasian juga sih sendirian,” kataku. Cherry mengangguk setuju. Betul, Vany sedang hamil 8 bulan. Anakku juga. Pasti teman-teman pembaca sudah tahu betul ceritanya.
“Lu bantuin dulu deh sebelom gue dateng,” kata Cherry. Aku mengacungkan jempolku.
“Eh lu pake baju lah!” ujarku. Cherry terbahak.
“Iyaa iyaa.. Kenapa, nafsu lagi ya kalo liat gue bugil gini terus?” godanya. Cherry mendekatiku dan memelukku, kemudian berbalik.
Kupeluk sahabatku dari belakang, kukecup ubun-ubun kepalanya.
“I love you, Cher…” bisikku. Cherry tersenyum.
“Love you too…” Ia berbalik, mencium bibirku dengan lembut.
“Hmm… Apa mau pacaran aja kita?” kataku sambil mengelus perutnya yang buncit. Cherry nyengir, pipinya merona merah.
“… Ah tapi gue harus share cowo gue ma Vany,” bisiknya, pura-pura merajuk. Aku tersenyum, kupeluk erat sahabatku.
“Lu udah kayak cowo gue koq, Dit… Dari dulu,” kata Cherry. “Cuma masalah status aja.”
“Gimana kalo diresmiin aja?” desakku. Sahabatku ini nyengir. Pipinya jelas-jelas merah padam. “Ini juga anak-anak gue kan, Cher…” tambahku, mengelus perut buncitnya.
Cherry nyengir, melepas pelukanku dan mulai memakai pakaiannya.
“Gimana kalo kita bicarainnya di tempat yang lebi enak?” katanya. Aku terkekeh.
“Ya-ya, Cher… Masa di ruang nari gini plus abis ML,” ujarku.
“Hahahah abis MLnya sih gapapa…” kata Cherry, selesai mengenakan kaos gombrongnya, kontras dengan legging super-ketat warna abu-abu yang dipakainya, membentuk paha dan pantatnya yang super seksi itu.
“Hahahaha dasar lu…”
Kudekati sahabatku yang cantik ini. Kupeluk lagi ia dari belakang. Kuelus perutnya yang buncit. Cherry menunduk, memegang tanganku.
“Gimana akhirnya sepupu lu yang mau adopsi mereka?” tanyaku. Seminggu lalu Cherry berkata bahwa ada kakak sepupunya yang sudah menikah tapi masih belum dikaruniai anak, sehingga saat mendengar bahwa Cherry hamil, mereka memutuskan untuk mengadopsi anak-anak kembar ini.
“Lusa baru bisa ketemu sama sepupu gue itu…” jawab Cherry riang. “Mau ikut?”
“Pasti ikut. Anak gue gitu,” jawabku. Cherry tertawa.
“Udah pulang sana… Ntar Vany nungguin loh,” katanya sambil mendorongku. Aku nyengir dan berjalan, menggandeng Cherry yang membimbingku ke pintu keluar.
Sebelum aku membuka pintu, Cherry mengecup pipiku.
“Gue bener-bener sayang sama lu,” bisiknya di telingaku. Entah kenapa aku merasa pipiku merona.
Aku nyengir, menunduk, mengecup perut buncitnya.
“Papi pulang dulu…” Cherry terbahak melihat tingkahku.
“Byee… Thanks arlojinya,” ujarku sambil meremas pantatnya yang montok. Cherry mengernyit.
“Masih aja ya...!” ujarnya sambil menjulurkan lidah. Aku tertawa dan berjalan pergi.
Saat berjalan pulang, aku berpapasan dengan teman-teman Cherry sesama penari. Beberapa yang mengenalku menyapaku riang, mengucapkan selamat ulang tahun. Aku berjalan ke bus stop di dekat kampus dan duduk menunggu bus yang akan membawaku pulang ke rumah. Siang itu panas sekali. Cuaca di Singapura aneh sekali. Sekarang panas sepert ini, nanti malam bisa-bisa hujan lebat dan super dingin. Ku keluarkan kacamata hitamku.
Busku datang. Aku naik dan menemukan tempat duduk dekat jendela. Aku terdiam, tapi pikiranku berjalan… Betapa bedanya respon orang-orang di Singapura pada kehamilan Cherry disbanding dengan orang-orang di Jakarta pada kehamilan Vany. Cherry dan aku mendapat ucapan selamat yang melimpah dari teman-teman kuliah dan dosen-dosen, dan di tim tarian pun Cherry yang tidak bisa ikut menari bersama teman-temannya lagi justru diangkat menjadi asisten koreografer karena kemampuan koreografinya yang memang luar biasa. Sementara adikku Vany, harus pindah kesini untuk menutupi masalah. Beda sekali.
Aku melirik arlojiku. Setengah empat sore. Sedang apa ya Vany di rumah? Sejak bulan Januari lalu Vany pindah ke sini dan tinggal bersamaku. Untuk mengisi waktu Vany mengikuti kursus bahasa Mandarin, kursus membuat cake, dan sebagainya. Di samping itu, yang membuatku senang, Vany setiap hari mengeluarkan keahliannya memasak, dan selalu memasak makanan yang enak-enak buat kakaknya⎯dan Cherry yang seringkali main ke apartemen kami⎯dan tentu saja hampir setiap hari kami menyempatkan diri untuk ML. Semakin besar kandungannya, nafsu Vany pun semakin besar. Luar biasa.
Ella tumbuh dengan sehat dalam kandungan Vany, masih diselingi terapi setiap 3 hari sekali untuk mengurangi resiko cacat pada Ella karena anak hasil hubungan inses (dan syukurlah dokter terus berkata bahwa kemungkinan cacat hanya 0,5%), dan sekarang sudah memasuki bulan kedelapan kandungannya. Perut adikku benar-benar buncit sekarang, yang entah kenapa dalam pandanganku seksi sekali.
Aku merogoh tasku dan menutupkannya pada pangkuanku. Astagah, bahkan memikirkan perut Vany yang buncit dan mulus saja membuatku tegang lagi… Padahal baru sekitar setengah jam yang lalu aku meledakkan spermaku tiga kali saat ML dengan Cherry. Kacau ini.
Bus sampai ke depan apartemenku. Aku berjalan masuk dan segera menaiki lift ke lantai 10 tempatku tinggal. Kubuka kunci pintu apartemenku, sepi sekali.
“Vany sayang… Kakak pulang…” ujarku. Tak ada jawaban.
“Vaaan…?” panggilku. Aku berjalan ke arah dapur. Beberapa sayur telah dipotong rapi dan diletakkan di atas piring. Ada beberapa kantong berisi belanjaan dari pasar dan supermarket, tapi tak ada adikku di sana.
“Van? Sayaaang…?”
Aku sampai di depan pintu kamarku dan Vany. Hawa dingin menguar dari celah di bawah pintu. Oh, Vany di dalam rupanya.
Kubuka perlahan pintu kamarku. Benar saja, adikku sedang tertidur lelap di ranjang kami. Wajahnya yang sangat imut terkulai di atas bantal. Tangannya memeluk guling. Rambut hitamnya yang sebahu agak awut-awutan, tapi adikku ini tetap terlihat cantik sekali. Tersenyum, aku duduk perlahan di sisi ranjang, membelai rambut dan membetulkan selimutnya. Kukecup perut adikku yang sangat buncit, kemudian kutinggalkan kamar, membiarkannya tertidur.
Aku berjalan ke ruang tengah, duduk di sofa, hendak menyalakan laptopku, mengecek facebook. Tiba-tiba mataku terantuk pada secarik kertas kecil yang tergeletak di atas meja, ditindih remote control TV. Kuambil kertas itu.
Kakak sayang,
Aku tidur dulu ya... Tadi abis dari pasar n supermarket capek.
Jam 4 bangunin aku ya Kak.
Luv,
Vany.
P.S: Bangunin na jangan nakal. :-P
Vany masih terlelap, terlentang di atas ranjang. Dadanya yang super besar bergerak naik-turun seirama dengan perutnya yang sedang hamil 8 bulan, bernafas tenang. Aku duduk di sebelahnya, mengusap perut buncitnya perlahan. Vany tetap pulas.
Perlahan, kubuka kancing piyama pinknya. Satu-dua-tiga-empat-lima... Yak terbuka semua. Kubuka piyamanya, perlahan, hati-hati sekali, jangan sampai ia terbangun... Vany tidak memakai BH... Astagah aku tak pernah bosan akan dada adikku; luar biasa besar (ukurannya 34F sekarang... Bahkan bertambah besar 1 cup lagi dalam 3 bulan ini), mulus, bulat penuh, montok—entah kenapa tidak ada tanda-tanda menurun sedikit pun, dan sekarang tentu saja penuh susu yang nikmat. Putingnya yang coklat tua sempurna sekali. Baru tadi pagi kusedot susu banyak-banyak dari dalamnya sebelum berangkat kuliah.
Aku menegakkan diriku, memandangi tubuh mungil Vany; sempurna sekali. Perutnya yang bulat dan sangat buncit mulus sekali tanpa bekas stretch-mark sedikit pun. Vany jelas bertambah gemuk sejak hamil, tapi entah kenapa justru aura kecantikan dan keseksian adik kecilku ini semakin bertambah kuat.
Dengan lembut, kuremas dada Vany. Enak sekali, lembut dan penuh di tanganku. Vany menggeliat, tapi masih terlelap. Telunjukku memainkan kedua putingnya. Kurasakan putingnya mengeras, menegang; Vany memang sangat mudah terangsang sejak hamil.
Kudekatkan kepalaku, dan mulai menjilat, menyedot putingnya dengan lembut, sambil terus meremas dadanya, semakin kuat. Susu yang nikmat segera menyembur keluar. Kumainkan puting kirinya yang sangat sensitif dengan lidahku, kujilat, kusedot susunya.
“Mmmh...” Vany mendesah perlahan dalam tidurnya.
Kusedot semakin kuat putingnya. Semakin banyak air susu keluar. Tanganku membelai perut buncitnya. Penisku sudah tegang sekali, sakit rasanya tertahan celana dalam dan celana jeansku.
“Ngg... Mmhh...” desahan Vany semakin terdengar jelas.
Kembali kuremas-remas dada adikku, kali ini dengan nafsu walau tetap lembut. Vany menggeliat lebih kuat. Tanganku merogoh ke dalam celananya, mengusap lembut vagina adikku... Agak basah.
“Mmhh... Nghh... Kaak?” kata Vany setengah mengantuk.
“Bangun Van...” kataku sambil nyengir. “Udah jam empat.”
“Mmmm? Iyaa...” Vany menunduk, melihat apa yang kulakukan untuk membangunkannya. “Iiii... Kakaaak... Uda dibilang banguninnya jangan nakal aaa... Ini malah nakal banget!” ujar Vany setengah kesal. Tapi bibirnya membentuk senyum manis.
“Hehehe abis kamu seksi banget sih... Tidur aja seksi...” belaku. Vany tertawa renyah.
“Aa... Kakak...”
Kuremas-remas dadanya dengan lebih kuat. Air susunya menyemprot, mengalir keluar. Perlahan, kukecup dada adikku, bergerak turun ke perut hamilnya. Kecupanku lembut di atas perutnya yang mulus. Vany tersenyum.
“Kakak suka banget sama perutku...” bisiknya. Aku mengangguk setuju.
Kubuka celana panjang piyamanya, celana dalam hijau muda berenda Vany sudah agak basah. Tersenyum, kubuka juga celana dalam adikku perlahan-lahan. Vaginanya yang tembem dihiasi bulu yang sangat tipis, membuatnya bertambah seksi. Vany telah membuka kemeja piyamanya, sehingga adikku telah telanjang bulat sekarang, terlentang di atas ranjang.
“Ayo tanggung jawab...” katanya. Aku terbahak.
“Ih nafsu banget deh...”
“Iiii kakak itu yang nafsu aku bangun-bangun langsung di ML-in!” ujarnya tak mau kalah.
Tertawa, aku merunduk, menciumi dan menjilati vagina adikku. Vany menggeliat, mengejang. Kujulurkan lidahku, menjilati bagian dalam vaginanya.
“MMhh... Aahh... Kaakk...” desahnya.
Kusedot klitoris Vany yang menonjol. Kedua tangan Vany mencengkeram seprei. Jelas nikmat sekali. Aroma segar vaginanya yang basah memenuhi inderaku.
“Aahhh.... Kaakk.... Mmmhh.... Nhh...”
Aku bergerak naik, kuciumi perut buncitnya sambil kubelai lembut. Bibirku naik menyedot putingnya, meminum susu yang nikmat. Tangan kananku merogoh ke bawah, kumasukkan tiga jemariku ke dalam vagina Vany, yang langsung mengejang.
“Nggghh!! Kaakk.. Aaa... Kaakhh... Aaahh... Aahh...” desahnya seru.
Kecupanku naik ke lehernya yang kurus, Vany memejamkan mata, menggigit bibirnya menahan nikmat. Semakin naik, kulumat bibir mungil adikku. Vany segera membelitkan lidahnya dengan lidahku. Jemariku bergerak semakin cepat, menusuk-nusuk vaginanya. Cairan vaginanya bermuncratan keluar. Muka Vany memerah.
“Aaahhh!! Aahh.. Kakkk.. Kaaakkkk!!” desahnya. Aku tahu tak lama lagi Vany akan keluar.
“Ayo, Van... Keluarin...”
“NNggghhh... Kaaakk....” Vany mencengkeram lenganku. Suara ‘crek crek crek crek’ jemariku yang menghujam vaginanya semakin terdengar, semakin basah.
“Aaahhh... KKAAAKK!! MMMMMMNnnnhhhh!!!”
Kucabut tanganku dari vaginanya. Vany squirting; satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh... Semburan demi semburan cairan keluar dari dalam vaginanya. Vany terkulai lemas di ranjang. Matanya terpejam, nafasnya terengah, tubuhnya gemetar dampak orgasmenya yang hebat.
“Nnnnhh... Kaa..kk.... Ngac...oo...” bisiknya, gemetar. Kukecup bibir adikku lembut, menenangkannya.
“Kakakku ini super nakal...” katanya lemah. Aku nyengir. “Harus dihukum...”
“Heh? Dihukum gimana?” tanyaku, tersenyum lebar. Vany nyengir.
“Ayo buka celananya!” perintahnya. Aku tertawa, menurut. Kubuka celana jeansku. Penisku yang sudah sangat tegang langsung menyembul keluar. Ujungnya telah basah.
“Sini...” kata Vany, perlahan menegakkan diri hingga terduduk, menepuk perlahan perutnya yang mulus dan sangat besar. Aku berlutut di depan adikku, Vany menggenggam penisku, dan segera mengulumnya dengan nikmat. Sensasi lembut bibir Vany yang mungil membungkus penisku, enak sekali.
Kepala Vany bergerak maju-mundur menyedot penis kakaknya. Aku memejamkan mata, benar-benar enak sekali. Lidahnya bergerak nakal di bagian bawah penisku.
“Mmhh.. Vann... Enak... Bangett...” ujarku menikmati. Vany menyedot dengan sangat-sangat lembut, semakin lama semakin kencang dan kuat.
Vany mengulum penisku hingga ke pangkalnya, kemudian dengan amat sangat perlahan menarik mulutnya hingga ke kepala penisku yang berdenyut-denyut rasanya. Dibiarkannya penisku keluar perlahan-lahan dari celah mungil bibirnya yang lembut, kemudian Vany menjilati penisku dari kepala hingga pangkalnya. Aku benar-benar tidak tahan.
“Vaann... Maauu kk.... keluarr...” kataku terbata.
Tapi saat sedikit cairan kental keluar dari kepala penisku, Vany mengangkat kedua dadanya yang super besar dan montok itu, diselipkannya penisku diantara belahannya. Kelembutan dan kekenyalan dada adikku membungkus penisku, yang entah kenapa menahan semburan spermanya.
Vany menekan, memijat penisku dengan dadanya. Susunya mengalir perlahan setiap kali Vany menekan dadanya yang besar lebih kencang lagi membungkus penis kakaknya. Tanpa sadar pinggulku bergerak maju-mundur. Jika ada satu hal yang dapat membuatku kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kenikmatannya, itu adalah titf*ck dari adikku Vany.
Gerakan pinggulku semakin kencang. Bagian bawah penisku tertekan perut buncitnya yang keras. Kulihat kepala penisku hilang-timbul dari belahan dada Vany. Aku sungguh-sungguh tak tahan.
“Nnggghhh... Mmhh... Vaann.... VVVAANN....NNYY!!” seruku.
Spermaku meledak bertubi-tubi melumuri wajah imut adikku. Vany telah mengangakan mulutnya lebar-lebar, sehingga bulir demi bulir cairan kentalku menyemprot ke dalam mulutnya. Rasanya lama sekali baru penisku berhenti menyemprotkan sperma, dan saat berhenti, kulihat wajah, poni, leher, dan dada Vany telah berlumuran sperma kakaknya.
Aku terduduk, kujatuhkan tubuhku ke belakang hingga terlentang. Penisku rasanya ngilu sekali. Ini ejakulasi kelima hari ini; sekali tadi pagi dengan Vany, tiga kali dengan Cherry tadi siang, dan yang barusan ini. Tiba-tiba aku merasa ngantuk sekali.
“Ah Kakak kebanyakan sih ama Cherry tadii...” ujar Vany manja, menelungkup di atasku; perutnya yang buncit menekan penisku. “Jadi udah lemes deh sama aku... Harusnya disimpen aja.”
Aku tertawa. “Hahaha ntar sore juga udah kuat lagi... Kakak boleh tidur dulu ga?”
Vany nyengir dan mengangguk. “Aku mandi trus siapin buat masak dulu deh... Kakak ntar bantuin kan?”
“Yup. Cherry juga koq,” kataku. “Kakak tidur sejam deh...”
Vany mengecup bibirku dengan lembut.
“Sleep tight, Sayang...” bisiknya. Aku tersenyum, memejamkan mata.
* * *
Aku terbangun karena aroma masakan Vany. Kulirik jam di dinding... Setengah 6 lebih sepuluh menit. Cherry akan datang pukul 6 sepertinya. Aku beranjak dari ranjang, masih dengan sedikit lemas aku berjalan keluar kamar, mencari adikku.
Aku berjalan ke arah dapur, tapi aku tidak menemukan adikku. Panci-panci sudah dimatikan apinya, hanya uap yang masih menguar dari balik penutup panci, menyebarkan aroma khas sup kacang merah buatan adikku. Aku tersenyum, bahkan wangi sup-nya pun sudah sama dengan wangi sup buatan ibuku. Kulirik tudung saji di atas meja, menyembunyikan beberapa piring hidangan nikmat olahan Vany. Hatiku tergoda untuk menyicipi salah satunya, tapi menahan diri karena tak ingin merusak kesenangan menyantap bersama makan malam dengan Vany dan Cherry.
Aku menguap, masih mengantuk... Kubuka lemari es untuk mengambil sebotol minuman isotonik. Masih mengantuk, aku berjalan kembali ke kamar sambil meminumnya. Di mana Vany?
Terduduk di ranjang, kembali meneguk minumanku, aku menoleh dan melihat sehelai t-shirt warna hijau tergeletak di sisi ranjangku. Astagah... Tentu saja Vany mandi. Rupanya tadi aku terbangun belum sadar betul sehingga tak menyadarinya. Sekarang aku bisa mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Aku segera berdiri, melepas pakaianku dan berjalan masuk ke kamar mandi, berniat mandi bersama adikku. Namun aku tertegun saat masuk.
Kutemukan bukan hanya Vany di dalam ruangan shower, tapi juga Cherry sahabatku. Dua cewek super seksi ini sedang mandi bersama, saling mengusap tubuh satu sama lain, meremas dada, pantat, dan saling mengecup leher dan bibir satu sama lain dengan perlahan... Dan tentu saja saling mengusap perut buncit mereka satu sama lain. Penisku langsung tegak berdiri menatap pemandangan seperti itu.
“Wow...” kataku.
Sahabatku dan adikku menoleh, dan ketika melihatku langsung nyengir senang sekali. Wajah imut Vany merona sedikit.
“Akhirnya lu bangun juga!” ujar Cherry.
“Wa... Koq.. Koq bisa...” kataku terbata. Cherry terbahak. Vany semakin merona.
“Mmm... Tadi aku lagi masak... Cherry dateng, terus bantuin... Terus abis masak keringetan... Terus mandi deh,” jelasnya polos.
Aku nyengir. Adikku ini lucu sekali. Ngomong sangat polos padahal satu tangannya masih terletak di dada Cherry, yang lain di atas perut buncitnya.
“Boleh gabung?” tanyaku.
Cherry tak menjawab, hanya berjalan keluar dan menarikku masuk ke dalam ruangan shower. Agak sempit rasanya sekarang... Dipenuhi 3 orang. Tapi aku tak peduli. Saat pancuran air hangat menyentuh tubuh kami, aku teringat saat pertama kali Vany melepas keperawanannya... Sore hari di bulan Juli yang lalu, mirip seperti sekarang. Bedanya hanya sekarang ada satu cewek lagi, membelai punggungku perlahan, perutnya mengusap punggungku perlahan. Enak sekali.
“Gue mandiin ya, Dit...” bisik Cherry. Tangannya mulai mengusap dada dan perutku dari belakang. Aku memejamkan mata, menikmati. Rupanya Vany tak mau kalah.
“Kak... Mandiin aku donk...” pinta Vany manja. Aku terbahak.
“Nakal kamu...” bisikku. Vany menjulurkan lidah, menyerahkan botol sabun cair kepadaku. Tersenyum, aku mulai menggosokkan sabun ke badan adikku dengan lembut, mulai dari lehernya yang agak gemuk sekarang, pundak, dan punggung...
Perlahan tanganku meraba dadanya yang super besar dan kencang, kuremas dadanya dengan lembut. Jemariku memainkan dan memelintir puting Vany yang keras... Menyemprotkan susu ke arah kaca yang membatasi ruang shower. Vany memejamkan mata, menikmati sentuhan kakaknya. Tangan Vany bertumpu pada kaca pembatas.
“Mmhh.. Kaak...” desahnya pelan. Uap mengembun di kaca, keluar dari mulut adikku. Kucium leher dan pundaknya perlahan. Tanganku bergerak turun, melumuri perut adikku yang buncit dengan sabun. Aku suka sekali dengan perut ini... Aku tak menolak perut adikku yang rata dulu sebelum dia hamil, tapi entah kenapa semakin besar perutnya, semakin seksi menurutku. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk melumat bibir Cherry.
Cherry terus membelai tubuhku, menciumi pundak dan punggungku. Ini enak sekali. Tangannya yang lembut mulai memegang penisku... dan mengarahkannya ke pantat Vany. Aku nyengir, menoleh. Cherry mengedip padaku. Cherry menyelipkan penisku yang sangat tegang di belahan pantat Vany yang sangat montok. Tanganku bergeser ke pinggulnya yang melebar, sudah siap melahirkan. Aku mulai bergerak maju-mundur, menggesekkan penisku di antara kedua bongkahan pantatnya yang empuk.
“Kaakk... Ga mau disimpen buat ntar malem aja?” ujar Vany lemah.
“Hmm... Masih kuat koq...” kataku. Vany hanya tersenyum manis, memejamkan mata. Perlahan, kumasukkan penisku ke dalam anusnya, dan mulai menggenjotnya dengan nafsu. Sempit, hangat sekali.
“Mmh... Mnghh.. Ngh... Hh.. Kaakk... Kakk...” desah Vany tiap kali penisku menghujam tubuhnya. Pantatnya yang tebal dan besar menepuk-nepuk pingganggku. Kuremas dada Vany kuat-kuat, memeras susunya semakin banyak keluar. Hujamanku semakin kencang. Cherry mencium dan menijlati leherku dari belakang, jemarinya memainkan putingku. Aku tak tahan, aku siap keluar.
“Vann.... V... Vannny... Nggghhh!!!”
Kuledakkan spermaku berkali-kali dalam anus Vany. Gemetar, Vany berbalik, mencium bibirku dengan nikmat. Tangannya membelai penisku yang masih tegang, masih meminta lagi. Kupegang perutnya yang mulus dan besar, enak sekali.
“Eeh... Giliranku sekarang...” kata Cherry tak mau kalah. Vany mengerucutkan bibir, pura-pura merajuk, tapi ia membalikkan badanku menghadapi sahabatku yang super cantik, yang sudah berlutut di lantai ruang shower menghadapi penisku, dan seketika itu juga memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku memejamkan mata. Sekarang giliran Vany yang menggosokku dengan perut buncitnya yang super mulus. Cherry bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya berulah di bawah batang penisku. Enak sekali. Vany menjilati leherku. Gila... Threesome seperti ini benar-benar luar biasa.
“Mmmm... Sllrppp... Sllrppp....” Cherry berisik menyedot penisku. Bibirnya yang cukup tebal membungkus penisku dengan sempurna. Benar-benar enak.
“MMhhh.... Cherr... Ngh...” desahku... Aku tahu aku tak dapat bertahan lama dibeginikan terus... Tapi Cherry tiba-tiba melepaskan sedotannya, berdiri perlahan, membalikkan badannya ke arah tembok. Tangan kirinya masih memegang penisku, membimbingnya ke arah vaginanya.
Tak menunggu disuruh dua kali, segera kuhujamkan penisku ke dalam vagina sahabatku. Kedua tanganku meremas erat-erat pantat yang sampai hari ini menurutku masih pantat termontok dan terindah di muka bumi (well... Di samping pantat Kim Kardashian atau selebritis mancanegara lainnya), yang semakin bertambah besar karena kehamilannya. Pinggulku bergerak maju-mundur, menghujamkan penisku kuat-kuat ke dalam rahim Cherry yang sedang mengandung anak kembarku.
“Oohh.. Oohh... Aangghh... Nhh... NNnnhh...” desahnya tak karuan tiap kali penisku menghujam ke dalam tubuhnya.
Vany berjalan perlahan ke depan Cherry, memegang kedua lengannya yang bertumpu ke dinding, mengalihkannya ke atas perut Vany. Cherry menegakkan diri, melumat bibir adikku dengan nafsu. Tangannya meremas dada Vany kuat-kuat, menyemprotkan susu dari dalamnya. Vany dan Cherry berciuman dengan sangat hot, saling membelitkan lidah.
Genjotanku semakin kuat. Aku semakin terangsang melihat adik dan sahabatku saling berciuman. Vagina Cherry seolah semakin lama semakin menyempit. Setiap kali Vany mencubit putingnya, vagina Cherry menjadi lebih sempit lagi. Ini enak sekali.
“Mmhh... Vann... Cherr.... Nngghh...”
“Ngh... Ngh... Ngh... Hh... Ngghh... Dit... Dit..” Cherry mendesah bertubi-tubi.
“Oohh... Ch... Cherryy....” desah Vany saat Cherry menghisap susu dari putingnya. Aku tak tahan.
“Nnnnnnngghhhh!!!”
Kuledakkan spermaku ke dalam rahim Cherry berkali-kali. Sekujur tubuhku seperti tersengat listrik rasanya. Penisku seperti tak mau berhenti mengeluarkan cairan. Kutarik lepas penisku dari vagina sahabatku saat masih mengeluarkan sperma. Beberapa muncrat menyemprot punggung Cherry, bahkan wajah Vany. Cherry merosot ke lantai. Rupanya Vany juga berhasil dibuat orgasme oleh Cherry yang terus memainkan dadanya. Adikku bersandar ke dinding, memejamkan mata, terengah-engah.
Sempoyongan, aku bersandar ke dinding. Cairan putih masih mengalir dari dalam vagina Cherry, meleleh keluar melumuri pahanya yang montok. Aku terengah-engah... Tapi penisku masih meminta lagi.
“Hh... Di... Di kamar aja, yuk?” kataku, tersengal.
“Kakak masih kuat??” tanya Vany, sedikit terkejut. Aku pun heran. Cherry menggeleng lemas, nyengir lebar.
Kami berjalan keluar dari kamar mandi, mengeringkan tubuh kami masing-masing dengan handuk, dan berjalan ke kamar. Vany dan Cherry merebahkanku terlentang di tengah-tengah ranjang, mereka berdua berlutut di sebelahku, Vany di kanan dan Cherry di kiriku, siap melanjutkan. Penisku sudah tegang sekali.
“Sekarang Kakak nurut aja yaa...” bisik Vany menggoda di telingaku.
“Kita yang bakal kerja keras...” kata Cherry.
Perlahan, dengan sangat sexy, mereka berdua membuka handuk yang membungkus tubuh hamil mereka, kemudian melemparkannya ke lantai. Entah apa, tapi tubuh (dan terutama perut) mereka terlihat mengkilat sore itu. Sangat mulus. Tak tahan, tangan kiriku meremas bongkahan pantat Cherry yang montok sekali, dan membelai perut Vany yang super besar dan mulus.
Kedua cewek ini mendekatkan wajah mereka ke penisku yang sudah tak sabar. Hatiku berdebar-debar, entah kenapa. Cherry mulai dengan mengulum kepala penisku. Vany menjilati batangnya perlahan. Sensasi diblow-job oleh 2 cewek tak pernah dapat kulukiskan.
“Mnhhh.. Vann... Cherrr.... Mngghh...”
“Slrrppp... sllrp.. Enak Kak?” tanya Vany. Aku hanya dapat mengangguk buru-buru.
“Mmmmm... Slrpp... Mm... Mah... Apa gue manggil lu ‘Kak’ juga aja ya, Dit?” kata Cherry sambil melepas kulumannya.
“Heh jangan aneh-aneh! Udah lanjutin!” ujarku sambil tertawa. Vany terbahak.
“Cherry... Gantian doonk...” pinta Vany. Cherry mengangguk, berpindah menjilati batangku, membiarkan Vany menyedot kepala penisku. Sedotan Vany selalu kuat.
Cherry mulai menciumi pinggangku, menyerahkan penisku sepenuhnya pada Vany yang telah memasukkan seluruh batang penis kakaknya ke dalam mulutnya. Lidahnya yang mungil bermain di bawah batang penisku, menyedotnya cepat. Kepalanya bergerak naik-turun-naik turun. Aku tak tahan.
“Vann... Kakak... mmmnnhh.... Kkhh...” kata-kataku tercekat.
“Eits... Jangan keluar dulu,” kata Vany, tiba-tiba melepas sedotannya. Benang ludah tipis menjuntai antara bibirnya dengan kepala penisku.
“Kita ada surprise buat lu...” kata Cherry.
“Astagah surprise apa lagi...” kataku, senang.
Cherry dan Vany menegakkan diri, berlutut berhadap-hadapan di kanan-kiri penisku. Perut mereka yang buncit menghadapi penisku, dan perlahan, Vany dan Cherry mendekatkan perut mereka, menjepit penisku dengan perut hamil mereka yang mulus dan kencang.
“Uwahh.. Vann... Cheerrr... Aahh... Ahh...” desahku tak karuan. Nikmat sekali.
Vany dan Cherry nyengir, mulai bergerak naik-turun menggosok penisku dengan perut mereka. Aku mendudukkan diri, kubelai perut keduanya; perut Vany yang sudah 8 bulan hamil lebih besar sedikit dari perut Cherry yang 5 bulan hamil anak kembar, tapi keduanya benar-benar mulus dan menggiurkan.
“I love you, Kak...” bisik Vany, memegang perutnya dengan kedua tangannya dan menggerakkannya lebih cepat menggosok penisku. Aku memejamkan mata, ini enak sekali.
“MMhh... Sini kamu, Vany...” ujar Cherry tiba-tiba, meremas dada adikku dan mengecup bibirnya. Vany terbelalak, tapi sesaat kemudian sudah menikmati ciuman Cherry, membelit lidahnya. Aku tak pernah tahan melihat pemandangan ini.
“MMMMMNNGGHHH.. nGGGHH... Gue... Kellluarr.... Nnhgggghh...”
Kuledakkan spermaku berkali-kali di antara perut buncit kedua cewek ini, menyemprot wajah, dada, dan tentunya perut keduanya. Aku tergeletak, terengah. Tubuh kami bertiga sudah berkeringat.
“... Gila itu... itu... tadi... Enak banget...” kataku. Kedua cewek itu tertawa. Mereka merebahkan diri di kanan-kiriku.
“Ayo, Sayang...” pinta Cherry sambil membelai penisku. Aku mengangguk, berlutut, berbalik menghadapi mereka berdua.
Aku memandangi kedua cewek cantik yang sedang bugil di atas ranjangku ini. Benar-benar luar biasa. Dua kecantikan yang berbeda, kulit dan wajah Vany yang sangat oriental, bersebelahan dengan Cherry yang tanned cenderung sawo matang dengan wajah bule-nya, keduanya sedang mengandung anak-anakku. Benar-benar luar biasa.
Kuarahkan penisku pertama-tama pada vagina Vany. Tembem dan hangat sekali sekarang. Vany memejamkan mata saat perlahan-lahan penisku menembus liang vaginanya. Cherry memain-mainkan dada Vany dengan satu tangan, sambil menjilati lehernya.
“Mmnhh... Ngghh... Nhhh...” desah Cherry. Aku mulai mempercepat tusukanku. Badan Vany yang terlentang bergerak seirama hujamanku. Semakin lama semakin kencang, semakin kuat.
“Oohh... Kakkk... Kakkkk... Nghh...” desahnya makin kuat.
Aku menggenjot adikku semakin kuat. Vany memejamkan mata, mulutnya menganga. Tangannya mencengkeram seprei kuat-kuat.
“Kakk.. Kaaaakkk.... Nnggghh!!!!!”
Vany squirting kuat-kuat, membasahi penis dan perutku. Aku mendudukkan diriku di sisinya. Mengerti, Vany naik ke atasku, membelakangiku, dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany menggelinjang, tangannya menopang perutnya yang buncit. Tanganku merogoh ke depan, meremas dada montok Vany yang berguncang-guncang menggiurkan, kumainkan putingnya.
Cherry beranjak turun dari ranjang, mencari sesuatu dari tasnya yang terletak di sebelah ranjangku, dan mengeluarkan sebuah dildo besar berwarna merah; bukan dildo biasa, tapi double-dildo (kedua ujungnya berbentuk kepala penis) dengan strap-on, sehingga bisa dipakai oleh cewek. Vany terbelalak menatap dildo besar itu.
“Gila.... Gede... Banget, Cher?” katanya sedikit tersengal karena penisku masih menghujam vaginanya.
“Hmmm... Kalo pas Kakakmu ga ada aku pake ini...” jawab Cherry cuek. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sahabatku ini cukup maniak rupanya.
Perlahan, Cherry menusukkan salah satu ujung dildo itu ke dalam vaginanya hingga masuk setengah, kemudian memakai strap-on nya. Muka Cherry merona merah. Sekarang sahabatku ini terlihat seperti memiliki penis besar berwarna merah, lebih besar dari penisku. Cherry naik ke ranjang, membelai perut Vany dan melumat bibirnya. Vany mulai was-was.
“Ch.. Cherr? Mau ngapain.... Nnnhh... nh...” tanyanya.
“Tenang aja...” bisik Cherry, menjilat tangannya dan membasahi kepala ‘penis’ merahnya. Aku mengerti apa yang ingin dilakukan Cherry, sehingga aku melepas penisku dari dalam vagina Vany dan menusukkannya ke dalam anus Vany. Vany menggelinjang, terbelalak.
“Aaah... Kakk... Ch... Aaah? Ch... OOOHHH! Cherrryy!!”
Cherry telah menusukkan dildo merah besar itu ke dalam vagina adikku dan mulai menghujam-hujamkannya. Perut buncit mereka saling bergesek. Muka Vany merah padam. Ia memejamkan mata, menikmati double penetration pertamanya.
“Aaaannghh.. Annnhhh.. Aaannhhh...” desah Vany kuat-kuat. Anusnya menyempit tiap kali Cherry menusukkan dildonya ke dalam vagina Vany.
“Nhhh.. Oohh.. V... Vann.. Ini enakk...” desah Cherry. Ia melumat bibir adikku, sementara aku menciumi leher serta terus meremas dadanya. Kedua lubangnya penuh, terus-menerus bergantian ditusuk oleh penisku di anusnya dan dildo Cherry di vaginanya.
“NNGHHH.. Nggghhhh.. NNggghhhhhh... Nggghhhh...” lenguh Vany tak karuan. Badannya bergetar. Tiba-tiba Cherry menjerit. Aku tahu Vany baru saja mengeluarkan jurus spesialnya, membuat dildo merah itu bergetar kuat sekali, sehingga dildo yang masuk ke dalam vagina Cherry pun bergetar.
“Ngghhhhhh!!!!! NNGHHH!!! OOOHH!!”
Vany menjerit dan squirting kuat sekali hingga dildonya terlepas. Sesaat kemudian ia kembali squirting kencang-kencang. Tubuhnya terkulai bersandar padaku, masih gemetar hebat sekali. Kubelai perutnya dan kukecup kepalanya untuk menenangkannya.
“La... gi...” desah Vany, meminta lagi.
“Heh... Kamu udah lemes gitu...” kata Cherry.
“Lagii... Sekali... Lagi....” desaknya. Rupanya ia ketagihan.
“Terakhir ya...” bisikku.
Tak menunggu lama, kutegakkan tubuh adikku, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang. Vany menggelinjang. Setelah penisku mantap berada di dalam vaginanya, Cherry perlahan menusukkan dildonya kedalam vaginanya juga dari depan. Vany terbelalak, mulutnya menganga.
“Aaaaa... Aaahhhhh... Annnhhh..... Aannnhh!!!” desahnya saat dua batang besar memenuhi vaginanya yang sempit.
Perlahan-lahan, bergantian, aku dan Cherry mulai menusukkan senjata kami ke dalam vagina Vany. Vany menggeletar. Aku pun memejamkan mata, ini enak dan sempit sekali.
Hujaman kami semakin cepat. Aku tahu Cherry juga mempercepat tusukannya. Muka Vany kembali merah padam. Desahannya semakin kuat.
“Ngghh! Aannghh... Arghhh... Annhh!! Mmhhh!! Mngghh!!!!” desahnya tak karuan.
“Diit... Dit.. Gue mau.. Ngghh.. Kuarrr...” ujar Cherry, memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya.
“Gue juga... Nnnhh.... V... Vannn?” kataku. Vany mengangguk liar.
“Hnnnghhh... Nhhgg!!” lenguh Vany tak karuan.
Hujamanku semakin kuat ke dalam vagina Vany. Tiba-tiba Vany mengeluarkan jurus spesialnya. Gelombang demi gelombang serangan memijat penisku dari dalam vaginanya. Aku tak tahan. Aku tahu Cherry juga sudah mencapai orgasmenya.
“Oooohh... Vvvvv... Vaaaaannn!!!”
Bertubi-tubi aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahim Vany. Cherry dan Vany juga squirting bersamaan. Cherry merebahkan diri ke ranjang, terengah-engah. Aku masih meledakkan spermaku ke dalam Vany. Linu sekali rasanya sekarang penisku, sejak tadi dipaksa terus menerus mengeluarkan sperma.
Kucabut penisku dari tubuh adikku. Vany terengah-engah, matanya menatap kosong langit-langit ruangan, sepertinya sudah hilang kesadaran. Penisku masih tegak berdiri, masih meminta lagi.
Aku berbaring miring di belakang tubuh sahabatku. Kubuka strap-on nya, tapi kubiarkan dildo merah itu menancap di vaginanya. Kutampar pantat Cherry , kemudian kutusukkan penisku ke dalam anus Cherry. Bongkahan pantatnya yang montok membungkus, menjepit penisku erat-erat.
“Lu... Gi... la.... Aaahhh.. Annhh...” desahnya. Aku tersenyum.
“Habis ini gue pingsan kali,” kataku. Kupercepat hujamanku ke dalam anusnya. Cherry mendesah, menggelinjang, tangannya mengelus-elus perutnya yang buncit. Tangan kiriku merogoh dari bawah tubuhnya, ikut membelai perutnya. Tangan kananku memainkan dildo merah itu, menusuk-nusukkannya ke dalam vaginanya.
“Nnnnggghhh... Hunn... nny... Nngghhhh!” katanya.
“Ch... Cherrr... Cherrr gue mau keluarr.... Cherrr...” kataku semakin cepat, hujamanku semakin kencang. Kepalaku berdenyut-denyut rasanya. Cherry mengangguk, mengetatkan jepitan anusnya. Tanganku menhujam-hujamkan dildo semakin cepat ke dalam vaginanya.
“Aaaa..... AAAHH... AANNHH!!” jerit Cherry.
“Chhhh... Cherrryyyy!!!!”
Aku tak tahu berapa kali aku menyemprotkan spermaku ke dalam anus Cherry, yang pasti saat kucabut penisku, cairan putih meleleh keluar dari antara pantatnya yang super montok.
Kami bertiga berbaring telentang di ranjang, menatap langit-langit. Aku memejamkan mata. Gila... Hari ini sepertinya penisku bekerja lebih keras dari yang sudah-sudah. Sudah lemas sekarang, sudah puas.
Aku menoleh ke kiri, menatap Vany, adik cewekku yang seksi, yang sedang menatap kakaknya. Senyum lemah mengembang di wajahnya yang imut.
“.... Love you...” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Love you too, Van...”
Aku menoleh ke kanan, menatap sahabatku Cherry, yang masih memejamkan mata rapat-rapat, menikmati sisa-sisa sensasinya. Kulitnya yang sawo matang tertimpa cahaya oranye matahari senja itu, terlihat mengkilat mirip emas.
“I love you, Dit...” ujarnya. Aku terbahak.
“I love the both of you...” kataku. Kupeluk keduanya. Kami terdiam, memejamkan mata, masih terengah.
Tiba-tiba kami mendengar bunyi seperti genderang perang yang ditabuh kencang sekali.
“Suara apaan, tuh?” tanya Vany, terbelalak. Cherry menggeleng.
Tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini aku tertawa kencang-kencang.
“Itu suara perut kita! Laper!!” ujarku.
“Oooohhhh!! Yaelaaahh!!” ujar Vany. Cherry tertawa.
“Bener juga ya! Makanannya jangan-jangan udah dingin lagi kita tinggal ML gini!” ujar Cherry. Vany segera terduduk mendengar masakannya terancam bahaya.
“Oiya! Ayo cepet! Bangun!! Makan!!” tukasnya, segera berdiri dan memakai pakaian, meninggalkan ruangan. Aku terbahak-bahak melihat tingkah adikku.
“Yuk!” ajakku pada Cherry. Cherry mengangguk, nyengir lebar.
Malam itu dinner kami berjalan dengan luar biasa. Rasanya aku belum pernah makan malam sebahagia itu. Masakan Vany benar-benar sedap, dan kami bertiga makan dengan seru, ditingkahi canda satu sama lain. Seusai makan, kami pergi menonton bioskop bersama. Aku sadar beberapa orang menoleh dan menatap kami dengan tatapan heran karena selama berjalan aku menggandeng atau merangkul kedua gadis cantik yang sedang hamil ini di kanan dan kiriku, tapi aku benar-benar tak peduli; aku berjalan dengan adikku yang sexy dan sahabatku yang luar biasa cantik, dan keduanya mengandung anak-anakku. Hidup tak akan pernah sesempurna ini. Tentu saja kami mengakhiri malam itu dengan sekali lagi Threesome sepulang nonton, dan sepertinya jika seperti ini terus... Bisa-bisa kandungan Vany dan Cherry bisa bertambah satu janin lagi.... Oke itu tidak mungkin.
* * *
Semuanya berjalan lancar setelah itu. Ella lahir sebulan kemudian dengan sehat dan normal, tanpa cacat sedikit pun. Yang unik hanyalah kedua iris matanya yang terkena heterochromia iridium, sehingga membuat iris mata Ella berlainan warna; yang kanan berwarna biru, yang kiri berwarna hijau. Tapi selain itu tidak ada cacat sedikit pun. Vany pun sehat, dan setelah selesai semua perawatan, ia pun dapat kembali melanjutkan sekolahnya. Ella diurus oleh ibu dan ayahku.
Tiga bulan kemudian Cherry melahirkan sepasang anak kembar, 2-2nya perempuan. Aku memberi mereka nama Yuri dan Yuna. Cantik-cantik, mirip bule seperti ibunya. Keduanya diadopsi oleh sepupu Cherry. Aku dan Cherry resmi berpacaran setelah itu.
Kuliahku berjalan lancar. Aku kuliah sambil bekerja paruh-waktu sebagai fotografer di salah satu model agency dari Jepang. Cherry kuliah sambil mengajar dance di kampus dan di sebuah tempat kursus dance yang cukup terkemuka di Singapore. Setahun setelah semuanya, Cherry mengandung anakku untuk yang kedua kalinya, kali ini laki-laki, dan lahir pada bulan Oktober 2010. Aku menamainya Shinji. Sejak itu aku memutuskan untuk menikah dengan Cherry dan merawat anak ini. Setelah itu, Cherry kembali mengandung dan melahirkan dua orang anak perempuan lagi untukku, masing-masing berjarak setahun. Aku kembali menamai mereka berdua Yuri dan Yuna, seolah mendapat kembali anak-anak kembarku yang pertama yang diadopsi oleh sepupu Cherry.
Dan... Tentu saja. Aku masih tetap sering pulang ke Jakarta setiap ada kesempatan untuk menjenguk Vany dan Ella, juga mengundang mereka datang berkunjung ke Singapore (dengan seizin Cherry). Aku dan Vany masih sering ML, kadang-kadang threesome bersama Cherry. Vany bertumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik, sangat seksi. Dadanya tetap 34F, perutnya telah kembali langsing, lekuk tubuhnya semakin terbentuk, semakin banyak pria mengidam-idamkannya, tapi sayangnya... Vany tak pernah membuka hatinya untuk pria lain.
* * *
Kamis, 28 Juni 2012 - 9.00pm WIB
Jakarta, Indonesia
“.... And the prince and princess lived happily ever after. The end.”
Kututup buku cerita bergambar Snow White itu. Ella menatapku mengantuk dengan matanya yang unik, mulut mungilnya menyunggingkan senyum manis.
“Good night, Sayang...” kataku lembut sambil mengecup dahi anak perempuanku. Ella sudah berumur hampir 3 tahun.
“Good night, Papi...” bisik Ella. Memejamkan mata.
Kubenarkan selimutnya, dan dengan perlahan aku berjalan keluar kamar Ella, mematikan lampu. Sebelum keluar aku menoleh sekali lagi. Ella sudah tampak terlelap, memeluk boneka panda. Tersenyum, aku menutup pintu kamarnya perlahan.
Aku baru kembali ke Jakarta sore hari itu. Sudah dua bulan lebih aku tidak pulang. Kali ini aku kembali ke Jakarta untuk menghadiri wisuda dan prom night Vany, adikku. Tak terasa ia pun telah lulus SMA. Vany sudah diterima di Waseda University di Jepang, dan karena aku dan Cherry pun telah lulus kuliah, kami berencana untuk pindah ke Jepang bersama-sama; Aku, Cherry, Shinji, Yuri dan Yuna, juga Vany dan Ella. Aku akan bekerja di kantor pusat model agency-ku di Jepang sambil melanjutkan kuliah S2 di sana.
Aku masuk melalui pintu tembusan ke dalam kamarku, yang sekarang juga menjadi kamar Vany. Ayahku merenovasi rumah sedikit sejak kehadiran Ella, membuat kamar lama Vany menjadi kamar Ella dan kamarku menjadi kamar Vany. Ia pun mengizinkanku tidur sekamar dengan Vany bila aku kembali ke Jakarta.
Vany, 18 tahun sekarang, sedang memilah-milah baju untuk prom night esok malam. Beberapa gaun dan setelan bertebaran di atas ranjang kami, dan Vany yang mengenakan lingerie polos berwarna kuning muda agak transparant masih menatap lemari pakaian dengan tampang serius. Aku tersenyum geli, mendekatinya. Vany menoleh.
“Hai, Kak... Ella udah tidur?” tanyanya.
“Udah... Dia demen banget Snow White,” kataku, mengecup pipinya. Vany terkekeh.
“Iya... Tiap malem minta dibacainnya Snow White mulu...” jawabnya, kembali berkonsentrasi pada lemari pakaian.
“Haha... Pantes kulitnya putih banget kayak Snow White,” candaku sambil duduk di ranjang. Kulit Ella memang sangat putih mulus seperti susu, cenderung kemerahan.
“Kak, bagus ini atau ini?” Vany menunjukkan dua potong gaun: Satu sack dress berwarna ungu tua dengan motif kristal di bagian dada, satu lagi sheath dress polos berwarna hitam. Aku memperhatikan keduanya.
“Hmm... Kalo yang item ini apa nggak membuat kecemburuan sosial?” kataku. Vany terbahak.
“Hahahaha.. Iya sihh.. Toket segede ini...” katanya. “Tapi kalo ditutupin selendang gitu? Ato cardigan?”
“Acaranya di mana sih?” tanyaku.
“Kempinski Ballroom... Grand Indonesia itu loh,” jawab Vany, kembali memutar badan menghadap lemari.
Aku memperhatikan adikku dari belakang. Aku bisa melihat bongkahan pantatnya dari balik daster ini... Benar-benar seksi adik cewekku ini. Tapi semenjak tadi sore saat ia menjemputku di airport, aku seperti melihat sesuatu yang berbeda darinya. Apa ya?
“Ah! Ini aja deh!” Vany berbalik dan menunjukkan cocktail dress berwarna biru langit dengan motif batik berwarna sama di bagian kanan bawah. Vany mendekatkan dress itu ke badannya. Cocok sekali.
“Hmm... Ini bagus!” ujarku jujur. Vany nyengir senang, menggantung dress itu pada pintu lemari pakaiannya dengan riang.
“Kakak besok dance sama aku ya...” pintanya. Aku tertawa.
“Hahaha... Vaann... Kamu tuh udah minta 15 ribu kali, kali...” kataku melebih-lebihkan. Vany memang sudah sangat sering memintaku untuk berdance dengannya saat prom night. Vany tertawa.
“Iiihhh.. Mendramatisir!” ujarnya. Ia berjalan mendekatiku, mengalungkan tangannya di sekeliling leherku, mengecup bibirku.
“Aku sayang Kakak...” katanya lembut.
“I love you too, Van...” jawabku. Aku memandangi matanya yang sipit. Rupanya Vany menangkap sesuatu dari mataku.
“Kak... Ada apa?” tanyanya. Aku tersenyum.
“Kamuu... Agak lain. Jujur,” jawabku. Senyuman Vany semakin lebar.
“Ih, Kakak... Masa dari tadi belom nyadar juga,” katanya nakal. Aku semakin heran.
“Hmm? Nyadar apa?”
Vany menatapku, menggelengkan kepala pura-pura kesal. Perlahan, Vany melepas tali pundaknya lingerienya, dan membiarkan lingerie itu jatuh perlahan ke lantai, menampakkan tubuhnya yang sudah matang sekarang; dadanya yang bulat penuh dengan puting yang coklat muda sempurna... Dan... Perutnya...?
“Aku hamil, Kak... 2 bulan...” katanya. Muka Vany merona merah. Tangannya mengelus perutnya yang baru sedikit membuncit. “Baru tau 3 hari yang lalu, koq...”
“... Van... Kamu... Hamil lagi?” tanyaku terbata, terkejut. Rasa senang merayapi tubuhku. Tapi tak ada rasa takut kali ini. Vany mengangguk, nyengir lebar.
“Semoga yang ini cowok ya...” bisiknya, duduk di atas pangkuanku, mencium bibir kakaknya. Kupeluk erat adikku yang seksi ini, kuremas pantatnya. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk; senang, kaget... Semuanya. Astagah... Padahal 2 bulan lalu kami hanya ML satu kali.
“Van...”
“Hmm...?”
“I... I love you, Vany...” aku terbata. Vany tersenyum manis, memelukku erat.
“I’m forever yours, Kak...”
ACYS 6: School Sex
Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah kenapa
bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat kemudian
aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan gedung ini.
“… Kangen ya sama sekolah ini.”
Aku mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP.
“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih... Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”
Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.
“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah... Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga...” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk.
“Iyaa... Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu...”
Ya, Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!
“Hus! Tuh kan udah ngebayangin... Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”
Tadi pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh... Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher...” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.
Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.
“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi... Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.
Menyadari aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah...” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha... Nggak lah... Lu... Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau... Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya...!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum... Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya... Sampe ketemu ntar sore...”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi... Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm... Tak apalah.
Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.
Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany... Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.
Raut muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.
“Eehh Kak... Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa... Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya... Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh... JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih...” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“... Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen... Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih... Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.
Aku mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku... Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit... Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.
Terdiam, menonton lagi. Aku memperhatikan adikku... Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat pundaknya... Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya...” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya...”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van...”
“Hus! Kak...”
<div align="center">* * *</div>
“Tapi bagaimana pun emang hebat kan anak-anak...”
“Iya sih... Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”
Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.
“Udalah, Vann... Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm... Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya... Hihihi...”
“Dasar...” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.
“Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak... Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat...”
“Loh ini baru jam 3 kurang... Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.
Ketika itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.
“Dasar mesumm...” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar.
“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku.
“Gapapa... Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti...” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak...” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van...” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.
Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.
“Kakak tuh... Nafsunya gede banget deh...” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.
Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.
“Mmh... Kak...” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget...”
“Kamu itu yang gede banget...” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?
Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.
“Van... Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa... Kakak kan ngeremesnya heboh... Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh... Vannnyy... Kamu seksi banget, sayang...” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.
Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.
“Aah... Kak... Jangan buru-buru donk...” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van... Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.
“Mmhh.. Nnhh.. Kaa... K... Jangan nafsu-nafsu minumnya... Ooh...” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan.
“Kakk... Kakk... Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”
Sejumlah besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya... Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.
“Ohh... K... Kakk...” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.
Ciumanku bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.
“Mmh... Perut kamu gede tapi bagus banget, Van...” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau...” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak... Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.
Ia membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat.
“Oohh Vann... Astagah.. Pelan-pelann...”
“Mm... Cp... Kakak dabi juga... Mmmhh.. Ga belan-belan... Mmmm... (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh... Aahh.. Vann... Vanny...” desahku.
Vany melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh... Vann... Kamu emang paling enak...” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V... Vaan... VannnnNN!!!”
<em>Crott... Crrroootttt.... Cccroottt...</em> Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm... Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.
Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum.
“Ayo, Kak... Langsung aja...” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.
Kubuka kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.
“Mmhh... Kakk...” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.
Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat.
“Ohh... Nnhhh... Vann.. Vann... Vanny...” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh... Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.
Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh...” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak... Mmmnhh!! Aaahh...” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van... Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr...”
“Ga ku.. kuattt... Kaaaakk... KKkk... Aaaahhh...!!!”
Vany orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.
“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de...hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku.
“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk... Nngghh...” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh... Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”
Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.
Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.
Saat itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku.
“Lagi, Kak... Aku belom puas... Tanggung jawab...” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.
Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh... Vannn.. Enak banget.. Mmhh...” desahku.
Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.
“Aaahh.. Kakkk... Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh... Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.
Aku mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku.
“Kakk... Kakak... Nnnnnhhh...”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn... Nnnnn... NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.
Kucabut penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.
“Aaahh... Ahh Kakk.. Nnhhh... Kakk... Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan lama.
“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh... Vannn Kakak mau keluarr...”
“Kak... Kakk... Kakk.. Nnhh Nnhhh... Akuu jugga... MMmmhhhHH...”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy... Vannyyy!!! VANNNY!!”
Aku mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.
Vany roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.
“Hh.. Thanks Van...” bisikku setelah beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama...” katanya.
Kami terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15... Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.
“Kak... Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh...” katanya lembut. Ia membelai rambutku.
“Mmm... Cuma mau minum koq, Yang...” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.
Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas.
“Astagah Diitt... Udah gue duga lu bakal di sini!!”
Aku hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.
“Duh Cher... Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku.
“Lagian lu kacau sih... Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget... Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan... Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van... Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.
Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu... Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu...” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.
“Sampe ketemu, Ma...”
“Ya... Ati-ati ya... Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”
Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.
“Hmmm... Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya... Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak...”
“Ada aku juga...” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih...”
Kami berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.
“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher... Lu... Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”
Kali ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!
“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak...” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu... Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan...” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “... Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga...”
Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?
“... 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti... Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September. Wah ini kacau!
Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.
“Cher, 3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.
Cherry nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?
“... Kan kembar, Dit...”
“KEMBAR??!!”
“… Kangen ya sama sekolah ini.”
Aku mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP.
“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih... Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”
Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.
“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah... Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga...” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk.
“Iyaa... Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu...”
Ya, Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!
“Hus! Tuh kan udah ngebayangin... Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”
Tadi pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh... Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher...” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.
Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.
“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi... Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.
Menyadari aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah...” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha... Nggak lah... Lu... Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau... Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya...!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum... Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya... Sampe ketemu ntar sore...”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi... Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm... Tak apalah.
Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.
Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany... Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.
Raut muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.
“Eehh Kak... Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa... Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya... Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh... JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih...” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“... Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen... Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih... Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.
Aku mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku... Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit... Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.
Terdiam, menonton lagi. Aku memperhatikan adikku... Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat pundaknya... Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya...” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya...”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van...”
“Hus! Kak...”
<div align="center">* * *</div>
“Tapi bagaimana pun emang hebat kan anak-anak...”
“Iya sih... Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”
Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.
“Udalah, Vann... Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm... Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya... Hihihi...”
“Dasar...” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.
“Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak... Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat...”
“Loh ini baru jam 3 kurang... Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.
Ketika itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.
“Dasar mesumm...” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar.
“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku.
“Gapapa... Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti...” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak...” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van...” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.
Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.
“Kakak tuh... Nafsunya gede banget deh...” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.
Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.
“Mmh... Kak...” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget...”
“Kamu itu yang gede banget...” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?
Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.
“Van... Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa... Kakak kan ngeremesnya heboh... Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh... Vannnyy... Kamu seksi banget, sayang...” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.
Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.
“Aah... Kak... Jangan buru-buru donk...” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van... Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.
“Mmhh.. Nnhh.. Kaa... K... Jangan nafsu-nafsu minumnya... Ooh...” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan.
“Kakk... Kakk... Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”
Sejumlah besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya... Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.
“Ohh... K... Kakk...” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.
Ciumanku bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.
“Mmh... Perut kamu gede tapi bagus banget, Van...” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau...” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak... Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.
Ia membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat.
“Oohh Vann... Astagah.. Pelan-pelann...”
“Mm... Cp... Kakak dabi juga... Mmmhh.. Ga belan-belan... Mmmm... (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh... Aahh.. Vann... Vanny...” desahku.
Vany melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh... Vann... Kamu emang paling enak...” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V... Vaan... VannnnNN!!!”
<em>Crott... Crrroootttt.... Cccroottt...</em> Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm... Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.
Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum.
“Ayo, Kak... Langsung aja...” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.
Kubuka kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.
“Mmhh... Kakk...” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.
Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat.
“Ohh... Nnhhh... Vann.. Vann... Vanny...” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh... Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.
Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh...” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak... Mmmnhh!! Aaahh...” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van... Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr...”
“Ga ku.. kuattt... Kaaaakk... KKkk... Aaaahhh...!!!”
Vany orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.
“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de...hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku.
“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk... Nngghh...” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh... Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”
Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.
Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.
Saat itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku.
“Lagi, Kak... Aku belom puas... Tanggung jawab...” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.
Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh... Vannn.. Enak banget.. Mmhh...” desahku.
Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.
“Aaahh.. Kakkk... Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh... Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.
Aku mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku.
“Kakk... Kakak... Nnnnnhhh...”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn... Nnnnn... NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.
Kucabut penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.
“Aaahh... Ahh Kakk.. Nnhhh... Kakk... Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan lama.
“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh... Vannn Kakak mau keluarr...”
“Kak... Kakk... Kakk.. Nnhh Nnhhh... Akuu jugga... MMmmhhhHH...”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy... Vannyyy!!! VANNNY!!”
Aku mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.
Vany roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.
“Hh.. Thanks Van...” bisikku setelah beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama...” katanya.
Kami terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15... Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.
“Kak... Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh...” katanya lembut. Ia membelai rambutku.
“Mmm... Cuma mau minum koq, Yang...” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.
Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas.
“Astagah Diitt... Udah gue duga lu bakal di sini!!”
Aku hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.
“Duh Cher... Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku.
“Lagian lu kacau sih... Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget... Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan... Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van... Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.
Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu... Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu...” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.
* * *
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.
“Sampe ketemu, Ma...”
“Ya... Ati-ati ya... Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”
Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.
“Hmmm... Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya... Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak...”
“Ada aku juga...” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih...”
Kami berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.
“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher... Lu... Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”
Kali ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!
“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak...” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu... Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan...” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “... Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga...”
Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?
“... 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti... Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September. Wah ini kacau!
Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.
“Cher, 3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.
Cherry nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?
“... Kan kembar, Dit...”
“KEMBAR??!!”
ACYS 5: My Pregnant Sister
“Hhh… Kakk…”
“Oohh… V… Vann… Mmmhh”
“Ohh… Oohhh… Kaakk… Kak…”
Kuremas dada adikku yang super besar. Lama sekali rasanya aku tidak merasakan dadanya yang empuk dan padat itu. Vany mengecup keningku. Nafasnya tak beraturan.
“Kakk… Kak… Pelan pelan… mmmhhh….”
“Hhh… Vann… Enak… banget… sempit banget….”
“Kakk… Mmmm… Tapi… Tapi ntar bayinya… sakit… Mmmhhh,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang buncit.
Aku terbangun. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Nafasku terengah-engah, jantungku berdegup sangat kencang. Kulirik jam di mejaku, pukul 3 dini hari. Aku memejamkan mata, berusaha mengatur nafasku. Kurebahkan diriku perlahan-lahan.
Mimpi itu lagi. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu ini aku mimpi tentang Vany yang hamil. Entah kenapa. Dan mimpinya selalu sama; selalu aku sedang ML dengan dia, dan dia berkata seperti itu.
Kujangkau handphoneku dari meja kecil di sebelah ranjang. Sinar layar HP menyilaukan mataku di kamarku yang gelap gulita. Wallpapernya menampilkan fotoku dengan Vany, adikku. Kami sedang tertawa cerah di foto itu. Aku tersenyum ganjil. Bayangan akan mimpiku masih mengganggku pikiranku. Aku tahu hubunganku dengannya sudah sangat jauh, tapi kurasa tidak sejauh itu.
Ya. Hubunganku dengan Vany sebenarnya memang sudah melebihi hubungan kakak-adik yang, secara moral, pantas (baca episode 1-4). Sejak bulan Juni yang lalu, kami bertingkah seperti sepasang kekasih, dan saling membuka dan mengakui nafsu yang sudah dipendam sejak lama (bagiku, sejak dia kelas 6 SD). Berawal dari sentuhan-sentuhan, hubungan kami semakin menjurus ke arah seksual, dan pada pertengahan Juli lalu akhirnya Vany melepas keperawanannya di tanganku, kakaknya sendiri. Kami sungguh mengerti bahwa hubungan ini terlarang, tapi sepertinya kami sudah melangkah terlalu jauh untuk dapat kembali lagi.
Tapi aku tak pernah bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau adikku ini hamil karena kakaknya sendiri. Walaupun aku tahu kenyataan bahwa setiap kali kami ML, hampir selalu aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahimnya, dan aku sungguh tahu bahwa resiko kehamilannya sangat tinggi, aku masih tetap tak dapat membayangkannya.
Aku menghela nafas, menoleh ke sisiku. Tubuh bugil Cherry, sahabatku, meringkuk di balik selimut, masih terlelap. Kupandangi wajah cantik sahabatku itu. Sepertinya sudah saatnya aku menceritakan ini padanya, sekedar minta masukan.
“Hmmm... Kalo nurut gue sih jangan dianggep terlalu serius.”
“Tapi masa seminggu tiga kali gue mimpi itu...”
“Mm... Mungkin lu kangen aja kali ma dia...”
“Ya tapi masa kangen mimpinya dia hamil?”
Aku sedang berdebat dengan Cherry soal mimpiku semalam sepulang kuliah. Kami berada di halte, sedang menunggu bus yang akan membawa kami pulang ke tempat kos. Singapura panas sekali hari itu. Sinar matahari sore serasa menyengat kulit kami. Cherry mengeluarkan kaca mata hitam.
“... Lagian adek sendiri di MLin sih...” katanya perlahan sambil mengenakan kaca mata hitamnya, setengah bercanda.
“Yee...”
Bus kami datang. Berdesakan, aku menggandeng tangan Cherry agar tidak terpisah, dan kami pun masuk ke dalam bus. Penuh sesak, kami terpaksa berdiri berimpitan di dalam bus. Aku berdiri di belakang sahabatku.
“Tapi bener loh, Dit...” lanjut Cherry. “Mungkin sebagian diri lu ngerasa berdosa, dan jadi agak ada takut bahwa hal itu mungkin terjadi.”
“Iya sih...” Aku pun menyadari hal itu. Mungkin memang itu yang terjadi.
“Udah lah gausah dipikirin lagi...” katanya. Cherry perlahan menekankan pantatnya yang luar biasa montok ke arah selangkanganku. Cherry memakai hot pants yang super pendek siang itu, sementara pantatnya memang jauh lebih besar dari rata-rata, sehingga sebagian bongkahan pantatnya yang bulat agak menyembul keluar dari bawah celananya. Aku meremas pantatnya sambil melotot memperingatkan. Sahabatku ini nyengir nakal... Dasar...
“Tapi kalo emang ternyata bener dia hamil gimana?” bisikku di telinganya. Aku harus berhati-hati untuk tidak berbicara terlalu keras karena Bahasa Indonesia sedikit banyak mirip Bahasa Melayu, yang masih dipahami orang-orang Singapura. Masalah yang aku perbincangkan ini cukup sensitif.
“... Gue bahkan baru mau nanya itu ke lu... Kalo bener gimana?” Cherry bertanya balik. Aku terdiam. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana.
“Ya paling dibawa kesini lah si Vany...” jawabku setelah beberapa lama.
“Ya... Mungkin gitu...” Cherry mengiyakan, setengah tercenung. Ia menggerakkan pantatnya yang menempel di selangkanganku naik-turun.
“Heh! Cher! Di bus ini...”
“Alaa... Lu udah ngaceng gitu...” katanya jahil.
“Gue udah ngaceng dari tadi sejak ngeliat lu... Tapi tetep aja! Aduh tunggu bentar napa sih bentar lagi juga sampe rumah!” kataku tak sabar. Sulit sekali menahan nafsu jika selangkanganku di gesek-gesek pantat semontok dan sebesar pantat Cherry.
“... Mungkin bentar lagi udah ga bisa sesering ini loh lu anal gw...” katanya perlahan. “... kalo Vany dateng?”
“Ah nggak lah...” jawabku sambil mendorong pantat Cherry menjauhi selangkanganku.
“OOHH!! Aarrghh.. Mmmhhh... Harder... Hardeerr hunny.. Nnhh..”
“Oohh... Cherryy... Chherr... Nnhhh...”
Aku menampar pantat Cherry dan meremasnya kuat-kuat. Sungguh belum pernah ada pantat cewek lain yang kukenal yang sebulat dan semontok pantat Cherry; rasanya sungguh kenyal dan padat! Cherry menggeletar, meliuk di atas tubuhku sambil bergerak naik-turun dengan cepat. Penisku menghujam anusnya berkali-kali dengan kuat. Keringat membasahi tubuh kami berdua.
“Nnnggghh!!! Nnggghhhh... Addiiitt... Mmmhhh...” lenguh Cherry keenakan. Ia menggigit bibir bawahnya yang tipis. Cherry sudah orgasme tiga kali sore itu, tapi tetap saja tak berkurang tenaganya.
“Cherrr... Cherryy... Asstagah enak bangettt...”
Aku merasakan bongkahan pantat Cherry yang super montok menghantam-hantam pahaku. Enak sekali rasanya. Anusnya ketat sekali menjepit penisku, ditambah dengan empuknya pantat Cherry yang membungkus penisku. Aku tak sedetik pun melepaskan cengkeraman tanganku dari pantatnya.
“Cherr.. Cherrr gue mau kkuarr... Nnnghhh...”
“Aaahh... Aaahhh... Lagi? Mmmmnnhh... Tahann dulu Hunny... Nnnhh...” desahnya. Aku sudah keluar sekali dalam vaginanya dan sekali kali dalam anusnya.
Ini gila. Aku sudah tidak kuat lagi.
“Mmmmhhh... Bodooo.. Bodo ahh.. Gue mau kuarin ajaa... Mmmmmhhh... Ga kuat Cherrr...”
“Tungguu... Tunggu barengannn.. Mmmmhhh gue juga udah mau kuarrr... Aahhh... Ngghhh!!! NNHHH!!!”
“Ga kuatt.. Ga kuaattt!!! MMMHHH!!!”
Aku menyemprotkan spermaku berkali-kali ke dalam anusnya, sementara Cherry squirting kuat-kuat, membasahi pinggang dan perutku. Aku mencabut penisku yang sudah ngilu dari anusnya, dan segera aku merasakan cairan putih mengalir deras keluar dari anusnya, seolah sumbatnya baru terlepas.
Cherry roboh ke atasku, terengah-engah, mengecup bibirku sambil mengelus dadaku. Aku memejamkan mata. Dahsyat sekali.
“Hhh... Lu gila Cher...” kataku terengah. Cherry tertawa lemas.
“Haha... Abisnya bentar lagi kan ga bisa seheboh ini lagi...”
“Hus... Yakin banget sih lu...”
Cherry hanya mendengus tertawa. Kami tak memiliki energi lagi untuk membahas hal ini.
Cherry begitu dahsyat sore hari itu ML dengaku, hingga aku sudah hampir lupa sama sekali akan mimpiku tentang Vany ketika tiba-tiba aku dibangunkan oleh dering handphoneku. Terkejut, aku terjaga seketika. Kamarku gelap, remang-remang diterangi sinar matahari yang sudah sangat redup. Langit berwarna keunguan. Kulirik jam dinding, pukul 7 malam Singapura. Rupanya kami tertidur sekitar sejam. Cherry masih tertidur, tertelungkup di atasku. Perlahan, kupindahkan tubuh bugil sahabatku ke atas tempat tidur, kuselimuti dengan selimutku, dan kuambil handphoneku.
Ada sebuah sms baru masuk... Dari Vany, adikku.
Singkat. Terlalu singkat. Aku menangkap urgensi dalam nada pesan singkat adikku. Mencurigakan. Ah, atau hanya pikiranku saja? Tapi jantungku berdegup sangat kencang. Aku tak tahu kenapa.
Kunyalakan Skype melalui laptopku. Begitu melihatku online, Vany segera memanggilku. Koneksi tersambung setelah beberapa saat. Layar komputer menampilkan wajah adikku, Vany, tersenyum manis seperti biasa, malah cenderung nyengir.
Aku tak dapat mengartikan ekspresi wajahnya. Aku menangkap kegembiraan yang sangat meluap-luap dari dalam diri adikku ini, tapi aku juga menangkap ketakutan dan kekuatiran dari sorot matanya.
“Hai, Kak...” katanya sambil melambaikan tangan.
“Hai... Ada apa?” tanyaku, langsung pada sasaran. Setelah bertanya aku baru sadar nadaku agak terlalu tegas.
“Hm? Eh...” kata Vany gelagapan. Rupanya tak menyangka akan langsung ditanya. “Eh... Aduh harus mulai dari mana ya...”
Aku diam dan menunggu. Jantungku berdebar sangat kencang, dadaku sakit rasanya. Vany memejamkan mata, menggeleng pelan. Sambil menghela napas panjang, ia membuka mulutnya yang mungil.
“Aku hamil, Kak...”
Entah bagaimana, aku tidak kaget sama sekali. Mungkin karena telah dipersiapkan dengan mimpi-mimpiku itu. Sungguh, aku tidak kaget sama sekali. Melihat aku terdiam, Vany melanjutkan.
“Aku udah ga dapet 2 bulan sejak awal Juli kemaren. Terus sejak seminggu yang lalu tiap pagi mulai muntah-muntah... Jadi aku periksa pake alat cek kehamilan... Hasilnya positif,” jelas Vany.
“Jadi... Aku bilang ke mami, terus 3 hari yang lalu aku dianter mami ke Tante Rina, dicek. Hari ini hasilnya keluar... Bener positif aku hamil... Udah 11 minggu... Jadi hampir 3 bulan,” lanjutnya. Tante Rina adalah dokter keluarga kami, dulu beliau lah yang membantu ibuku melahirkan aku dan Vany.
Aku terdiam. Tak tahu harus bertanya apa. Aku tahu itu pasti anakku, tapi aku tetap bertanya.
“... Itu... Anak...?”
“Anak Kakak...”
“Pasti?”
“Ya. Udah di cek tadi sama DNA Kakak. Si tante masih punya ternyata sample nya,” jelas Vany panjang lebar, dengan tenang, cenderung riang. “Lagian aku ga pernah ML sama cowo laen.”
“Jadi... Mami uda tau?” tanyaku.
Pipi Vany merona merah. Sambil tersenyum ia menjawab, “Mami uda tau sejak kita ML, Kak...”
Kali ini aku terkejut.
“Hah? Koq bisa??”
“Mami... Tadi mami bilang sama aku, mami pertama kali taunya tuh waktu itu pernah kebangun suatu malem sekitar pertengahan Juli abis pulang dari Semarang,” kata Vany. Pertengahan Juli, aku berpikir, berarti itu malam-malam terakhir aku dan Vany ML sebelum vakum selama hampir 2 minggu dan ML lagi di malam terakhirku di Jakarta (Baca episode 4).
“Terus?”
“Terus mami pas kuar kamar, mau turun minum di bawah, lewat kamar kita. Dia denger suaraku desah-desah gitu,” kata Vany. “Pertamanya mikir cuma Kakak lagi nonton film bokep, tapi terus dia nyadar koq suaranya kedengerannya dari kamarku. Jadi terus dia deketin pintunya.”
“Terus Mami coba buka pintu, ternyata ga kekunci. Ya terus mami ngeliat kita lagi ML lah... Katanya mami ngintip sampe kita kelar....” lanjut Vany sambil tertawa kecil. “... Terus katanya mami juga pernah masuk kamarku pas kita lagi mandi bareng sore-sore... Jadi udah beberapa kali tau lah...”
Aku terdiam, tak percaya. Bagaimana mungkin ibuku telah mengetahui hubungan terlarang kedua anaknya selama ini dan tak menghentikannya?
“Koq... Koq ga dihentiin ya sama mami...” tanyaku bingung.
Vany mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. “Nggak tau... Aku tadi juga tanya gitu...”
“Terus mami bilang apa?”
“Katanya... Uda terlanjur mau diapain lagi...”
Aku mengangguk. Memang seperti itulah ibuku. Ia tak pernah berusaha mengubah bubur menjadi nasi. Dalam hati aku sangat berterima kasih atas pemahaman ibuku.
“Jadi Papi-Mami udah tau...”
“Belum, Papi belum,” ujar Vany. Kali ini suaranya agak bergetar. “... Mungkin malem ini kita kasi tau papi.”
Aku mengerti ketakutan Vany akan ayahku. Pasti beliau akan murka besar mengetahui anak gadisnya dihamili oleh anak sulungnya sendiri. Aku pun ngeri. Pikiranku campur aduk sekarang.
“Van... Bagaimana pun papi harus tau,” kataku. Vany mengangguk tegas.
“Ya. Aku sih udah siap nanggung semua resikonya, Kak...”
Tertegun, aku terdiam sejenak. Tak kukira Vany setegar dan memiliki hati sekeras itu. Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar luar biasa ini.
“... Kamu hebat, Van...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Kak... Kakak bakal tanggung jawab ‘kan?” Vany bertanya tanpa ragu.
“... Pasti,” jawabku. Entah kenapa keyakinan mengalir kuat di hatiku. Vany tersenyum lega. “Kita tanggung sama-sama. Kita yang berani berbuat koq, ya harus kita yang nanggung akibatnya.”
“Ya,” jawab Vany.
Kami terdiam, tak tahu harus ngomong apa.
“Van...” kataku akhirnya. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku.
“Ya?”
“... Koq kamu bisa setegar dan seceria itu? Kamu... Kamu bakal kehilangan sebagian masa ABGmu,” tanyaku. Vany terdiam sejenak.
“... Aku...” katanya, menunduk, melihat ke arah perutnya yang tak terlihat berbeda. ”... Aku seneng bisa hamil anak Kakak... Seneng banget.”
Semuanya berjalan sangat cepat. Ayahku, di luar dugaan, tidak marah sama sekali saat mengetahui perbuatan kedua anaknya. Beliau hanya menyatakan kekecewaannya yang sangat besar, dan justru hal itulah yang membuat aku dan Vany merasa sangat berdosa. Tapi saat semua itu berlalu, kedua orangtuaku menjadi sangat antusias menyambut kehadiran seorang anggota keluarga baru, cucu pertama mereka.
Setelah negosiasi dengan pihak sekolah, Vany diputuskan untuk mengikuti sekolah hingga akhir semester pertama kelas 3 SMPnya, kemudian pindah ke Singapore untuk menutupi masalah ini. Setelah melahirkan, Vany boleh melanjutkan sekolah, tapi harus mengulang dari awal kelas 3 SMP. Vany setuju akan hal ini.
Hal lain yang perlu dihadapi Vany tentu saja soal teman-temannya. Seperti sudah diduga, sebagian besar teman-teman Vany di sekolah segera menyebarkan berita kacau ini ke seantero sekolah, dan mulailah orang-orang memandang Vany dengan tatapan sinis. Aku bersyukur karena memiliki adik yang sangat keras hati dan teguh, di samping juga ia memiliki satu grup sahabatnya yang tetap menyayangi, melindungi, dan terutama, menerimanya tanpa pandang bulu.
Vany diharuskan mengikuti terapi khusus secara intensif oleh dokter untuk memperkecil kemungkinan cacat pada bayi kami, mengingat anak hasil hubungan inses memiliki kemungkinan cacat, baik mental maupun fisik, yang besar. Untungnya, jika terapi dilakukan sejak usia kehamilan masih sangat awal, tingkat keberhasilannya menjadi sangat besar.
Dan tak terasa, bulan November sudah mendekati akhirnya. Perut Vany semakin membesar. Kuliahku berjalan sangat lancar, dan aku akan pulang ke Jakarta pada akhir bulan ini. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan adikku satu-satunya. Webcam dan foto yang dikirimkan padaku tak cukup memuaskan kerinduanku untuk bertemu secara fisik dengan Vany, dan calon anakku yang ada di dalam perutnya... Dan tentu saja aku ingin merasakan bersetubuh dengan cewek hamil
Singapore, 29 November 2008, 10.15pm
“Hahahahaha... Ih Kakak parah!! Hahahaha...”
“Loh tapi bener kan?? Pasti jadi lebih berat! Kan ditindih 2 orang!”
Malam itu aku sedang bercanda dengan Vany melalui webcam. Ini malam terakhirku di Singapore untuk semester ini. Aku akan pulang ke Indonesia besok siang. Barang-barangku sudah terpak rapi di dalam koper.
“Eh, Kak, aku udah musti tidur... Dokternya bilang jam 10 batas maksimal sebetulnya,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang sudah jelas terlihat buncit. Janinnya bertumbuh sehat dalam kandungan Vany yang sudah hampir mencapai bulan ke 5.
“Oiya.. Udah 10.15 malah sekarang... Yaudah kamu istirahat aja...” kataku sambil tersenyum.
“Sampe ketemu besok... Jangan ada yang ketinggalan!” ujar Vany mengingatkan. Sudah persis ibuku.
“Hahaha kamu tuh uda persis mami tau nggak ngomonginnya...”
“Iiih... Apa coba...” ujarnya. Aku tertawa lagi.
“Kangen banget sama kamu, Yang...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Aku juga kangen sama Kakak...” bisiknya. “... Udah ga tahan.”
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahaha akhirnya kamu juga yang nggak tahan!”
“Halah Kakak pasti uda lebih ga tahan lagi kan??” tebaknya tepat.
“Pengen nyoba ML sama cewe hamil...” kataku jujur. Muka Vany merona.
“Dasar...” katanya pelan. Tapi ia tetap nyengir malu. “Aku punya kejutan buat Kakak soal itu...”
“Apa tuh?” tanyaku penasaran.
“Ada lah... Pasti Kakak suka... Tunggu aja besok,” jawabnya sambil nyengir nakal.
“Hahaha kamu tuh... Yaudah... Nitez, Van...”
“Nite, Kak... Nggak bilang nitez sama baby?” katanya sambil mengedik ke arah perutnya.
“Oiya... Nite Nite, Baby!” ujarku.
Vany tertawa, melambaikan tangan, melemparkan kecupan, dan mematikan webcam.
Terminal 2, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta,
30 November 2008, 18.05
Aku berjalan, setengah berlari, ke arah tempat pengambilan bagasi. Jas hitamku berkibar diterpa angin. Kebetulan aku mendapat kursi tempat duduk terdepan di pesawatku pulang, sehingga imigrasi pun kulalui dengan cepat (tidak perlu ngantre).
Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah koper hitam besar bergaris cokelat muda muncul di conveyor belt. Segera kuambil koperku, kuletakkan di atas troli bersama ranselku, dan mulai berjalan, sedikit tergesa, ke arah luar. Hatiku berdebar-debar mencari wajah yang kukenal.
Dan di tengah kerumunan orang yang menunggu kerabat, teman, atau kenalan yang datang hari itu dari Singapura, aku melihat wajah ibuku; tersenyum cerah melihat anak sulungnya, melambai bersemangat. Ayahku di belakangnya, tinggi menjulang, nyengir melihatku. Di sebelahnya... Jantungku seolah berhenti berdetak.
Vany berdiri di samping ibuku, nyengir sangat lebar. Rambutnya yang dulu sangat pendek-kaku sekarang panjang terurai sebahu. Pipinya yang tirus sekarang menjadi agak chubby, tapi justru membuat wajahnya menjadi cantik dan anggun sekali; hanya sedikit tersisa kesan kekanak-kanakannya. Adikku mengenakan t-shirt hijau muda, ditutupi cardigan warna broken white, dan celana putih selutut. Perutnya yang buncit tampak jelas menyembul keluar, dan tentu saja... dadanya... astagah, apa tambah besar lagi?
Aku melihat pandangan beberapa orang di sekitar Vany yang agak heran, karena bagaimana pun tampang adikku masih seperti anak kecil, tapi jelas sedang mengandung. Tapi aku tak peduli, dan aku tahu Vany juga tidak peduli. Belum sampai aku ke pembatas yang memisahkan penjemput dan orang yang dijemput, Vany sudah berlari menghambur dan memelukku erat-erat. Aneh rasanya, ada yang mengganjal di bagian perut. Tapi aku pun memeluk erat adikku.
“Kaaaaakkkkk... I miss you soo muchhh!!” ujarnya tulus. Aku tertawa dan membelai rambutnya.
“I miss you too, Hunny...”
Kami melepas pelukan, dan aku memandangi adikku yang berseri-seri, dan tentunya memperhatikan perutnya yang buncit. Ia memukul lenganku.
“Koq ngeliatnya kayak gitu?” tanyanya geli.
“Masih heran ngeliat kamu hamil...” kataku jujur. Vany terbahak.
“Mau pegang ga?” katanya, menyodorkan perutnya.
Aku mengulurkan tanganku, entah kenapa agak gemetar, dan dengan canggung mengelus perut Vany. Bulat dan mulus sekali rasanya. Vany tertawa lagi, menyadari kecanggunganku. Ia menggamit lenganku dengan sayang dan kami berjalan ke arah kedua orangtua kami.
“Apa kabar, Dit?” kata ibuku sambil mengecup pipiku.
“Baik banget, Ma,” kataku, kupeluk beliau erat. Ayahku menonjok lenganku perlaan. Aku nyengir dan merangkulnya. Tinggi kami hampir sama sekarang.
“Welcome home,” katanya. Aku mengangguk dan tersenyum cerah. Memang tak ada yang mengalahkan Jakarta sebagai rumahku. Banyak hal yang berubah di keluarga ini, tapi aku bersyukur karena kasih sayang tidak berubah di antara kami.
Kami berempat berjalan keluar gedung terminal ke arah mobil. Ayah dan ibuku di depan, aku mendorong troli sambil merangkul pinggang Vany di belakang mereka.
“Kamu bedaaa banget...” kataku pada Vany.
“Hm? Beda gimana?” tanyanya.
“Beda deh... Rambutnya, semuanya...”
Aku tak mampu menjelaskan dengan kata-kata.
“Tambah cakep ga?”
“Tambah besar,” bisikku. Vany tertawa terbahak-bahak.
“Dasar Kakak...”
Sambil memelankan suaraku, aku bertanya, “Eh kejutannya apa?”
Vany nyengir nakal dan berkata, “... Ntar malem aja di kamar.”
Rumahku, 22.00
“... Jadi kalo nurut aku sih antara kru pit stop yang lain sama yang kasi aba-aba untuk jalan ada salah paham.”
“Terus Massa langsung jalan aja gitu?”
“Ya. Langsung tancep gas, selang bensin masih nempel padahal. Jadi orang yang bagian ngisi bensin langsung kebanting gitu.”
“Hooo... Wah seru ya.”
Kami sekeluarga sedang duduk-duduk di sofa ruang tengah rumah kami, menonton pertandingan Manchester United vs Manchester City di TV sambil berbagi cerita. Aku sedang menjelaskan kepada ayah, ibu, dan Vany tentang insiden Felipe Massa yang menarik selang bensin dan membuat salah seorang kru Ferrari terpelanting pada balapan F1 di Singapura bulan September lalu. Kebetulan aku mendapat free pass untuk masuk ke area tribun VIP karena aku magang sebagai stage crew untuk acara di F1 Executive Lounge. Tempat dudukku sangat dekat dengan area pit stop, sehingga dapat melihat insiden Massa dengan sangat jelas.
“Sayang ya... Padahal kalo ga ada kejadian itu dia bisa menang ya,” kata ayahku.
“Iya... Jadi yang menang Alonso deh...” jawabku.
Kami terdiam. Vany duduk bersandar di sebelahku sambil mengelus-elus perutnya. Entah kenapa setiap kali melihat perutnya yang buncit, penisku mulai menegang (aku segera menggeser bantal untuk menutupinya). Badanku memang lelah sekali malam itu, tapi hatiku masih ingin mengetahui kejutan yang Vany siapkan bagiku. Seolah mengerti pikiranku, Vany nyengir dan menegakkan tubuhnya.
“Hmmmh...” Vany menghela nafas dan berdiri perlahan.
“Oh ya udah jam 10 ya...” kata ibuku, tersadar.
“Ya. Aku naik dulu deh ya, Pa, Ma...” ujarnya. Ia menoleh, menatapku dengan penuh arti. “Besok sekolah juga kan.”
“Ah ya... Aku naik juga deh ya...” kataku, mengetahui maksud Vany. “Capek juga.”
Ayah ibuku tidak menjawab, saling berpandangan. Dalam hati aku sepertinya mengerti apa yang mereka pikirkan.
Kami sudah setengah jalan menaiki tangga ketika tiba-tiba ayahku memanggil.
“Kak, Dik,”
“Ya?” jawabku dan Vany berbarengan sambil menoleh. Ibuku yang melanjutkan.
“... Jangan sampe kemaleman ya kalian maennya. Vany inget Kakak baru pulang, pasti capek. Kamu juga besok sekolah kan,” ujar beliau.
Terdiam sejenak, aku dan Vany saling berpandangan.
“Iya Ma tenang aja,” jawab Vany riang.
“Nite Ma, Pa!” kataku sambil mendorong punggung Vany agar melanjutkan naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku.
Begitu pintu kamarku menutup, tawa kami meledak.
“Hahahahahaha ngasi taunya vulgar gitu sih Mami?” kataku sambil tertawa.
“Hahahahaha iya tuh parah!” mata Vany berair karena tawa.
“Hahahaha...”
Terdiam sesaat. Aku memeluk adikku dari belakang. Vany menghembuskan nafas dengan agak gugup. Tanganku mengelus perutnya yang buncit. Wangi buah-buahan khas Vany memenuhi inderaku.
“... Tapi aku bersyukur punya orangtua kayak mereka,” bisik Vany. Aku mengangguk.
“Ya... Kalo yang lain mungkin kita udah diusir,” kataku sambil mengecup belakang telinga adikku dengan lembut. Vany bergidik.
“Mmmhh... Udah lama banget rasanya ga dicium kayak gitu...” bisiknya senang. Aku tersenyum, menurunkan kecupanku ke arah rahang belakang Vany.
“Mmm... Van...”
“Hmm...? Nap...a?” tanya Vany di balik desahan.
“Gapapa... Kakak kangen banget sama kamu gini,” kataku perlahan. Tanganku bergerak, meremas dadanya yang super besar perlahan.
“Tambah gede lagi ya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Iyalah... 34DD... Mmhhh...” katanya.
“Gila cepet banget tambah gedenya!” ujarku, terkejut. Saat aku pergi bulan Agustus lalu, dada Vany berukuran 32D.
“Iyalah namanya hamil... Mmmm... Ka...ak... Pelan donkk...” desah Vany keenakan. “Ah... Tapi gemuk tau aku... Mmhh...”
“Nggak koq... Sexy... Lagian kan emang hamil pasti gitu...”
“Iya sih.. Mmmhh... Aah... Kakak... Pelan-pelan...”
Aku meremas dada Vany dengan nafsu sambil terus menciumi dan menjilati lehernya. Vany menelengkan kepalanya, memberi ruang untuk memudahkanku menciuminya. Tanganku tak cukup besar untuk membekap dada adikku. Luar biasa empuk dan padat rasanya. Penisku sudah tegang setegang-tegangnya.
“Hmmm... Vann... Empuk banget...”
“Mmmnhh... Kakk... Kak... Jangan keras-keras...”
Vany berbalik, mencium bibirku. Kulumat bibir adikku, kumasukkan lidahku yang langsung dibelitnya. Kami berciuman semakin panas. Bunyi decak lidah kami yang saling membelit tedengar sexy di kamarku yang dingin. Vany mundur hingga ke arah ranjangku dan merebahkan diri di sana, diikuti aku yang menelungkup di atas tubuh adikku, melumat bibirnya dengan lembut. Vany membelit lidahku dengan nikmat. Tanganku bergantian bermain di atas perut dan dadanya yang empuk.
“Sayang... Udah boleh tau kejutannya?” tanyaku. Vany nyengir nakal.
“Mmm... Sabar donk, yang...” godanya. Perlahan, Vany mengangkat sedikit kaos tidur biru mudanya, menampakkan perutnya yang buncit dengan jelas, menggodaku. Kulitnya mulus sekali, tak ada bekas-bekas strechmark sama sekali. Penisku rasanya berdenyut-denyut di balik celanaku.
Aku tersenyum, mengelus dan mengecup perut adikku. Masih heran rasanya akan kenyataan bahwa yang di dalam sana adalah anakku sendiri. Sekali lagi, Vany seolah membaca pikiranku.
“... Ga nyangka ya, Kak?” tanyanya.
“Iya... Tapi Kakak seneng...” jawabku sambil mengecup perutnya. Entah kenapa enak sekali rasanya.
“Aku juga...” kata Vany. “... Cowo ato cewek ya?”
“... Semoga cewek...” jawabku. Vany tertawa.
“Koq gitu?”
“Abis maminya cantik banget... Kalo anaknya cewek harusnya secantik maminya...”
“Ciah.. Gombal...” dengus Vany geli. Aku nyengir. Tanganku merogoh ke arah dadanya, meremasnya dengan nikmat. Vany membuka kaosnya seluruhnya. BH Vany yang pink berenda tampak sangat kesulitan menampung dadanya yang besar; sebagian dadanya masih ada yang menyembul ke samping kanan-kiri cakupan BH itu.
“Gede banget sih...” kataku gemas sambil meremas dadanya. Aku merasakan puting Vany sudah mengeras di balik BHnya.
“Kakak yang buka deh... Kan bukannya dari depan,” katanya.
Tak menunggu disuruh dua kali, aku membuka kancing BHnya, dan perlahan, kedua tanganku menyingkapkan BH putih itu. Dada Vany bergelayut menggiurkan saat terlepas dari bekapan BHnya. Benar-benar besar dan kencang sekarang. Putingnya jelas bertambah besar, dan sekarang warnanya menjadi lebih gelap.
Tanpa ragu-ragu aku meremas dada Vany. Montok dan kenyal sekali. Jemariku memainkan putingnya yang tegak berdiri. Vany menggeliat, menggelinjang.
“Aahh.... Kakkk... Enak bangett...” desahnya.
Aku memainkan puting kirinya yang super sensitif dengan telunjukku. Tangan kiriku meremas dada kanannya, sementara jemari tangan kananku mencubit puting kirinya. Tiba-tiba aku tertegun. Aku merasa tanganku basah. Aku mendongak, menatap adikku. Vany tersenyum. Sepertinya aku tahu apa kejutannya.
“Van... Kamu...?”
“Hehehe coba aja...”
Vany menarik kepalaku, membenamkan wajahku dalam bekapan dadanya. Empuk dan lembut sekali. Perlahan, aku menggeser wajahku ke arah putingnya. Kujilat puting kirinya perlahan. Vany mengejang.
“Kakk... Sedot aja...” pintanya.
Aku menyedot putingnya... Dan seketika itu juga mulutku tersemprot cairan... manis... Susu!
“Van! Kamu udah kuar susu?” ujarku. Vany hanya nyengir lebar dan mengangguk. Aku kembali menyedot susu dari putingya dengan bersemangat. Enak sekali rasanya. Manis dan kental. Penisku benar-benar sudah sangat tegang.
“Mmhh.. Pelan-pelan... Kakk... Mmmnn... Kakak tuh kayak bayi gede...” katanya geli. Aku tak peduli, terus menikmati air susu adikku. Bergantian aku menyedot, menjilat, mengulum puting kiri dan kanannya, sambil terus meremas-remas, menikmati keempukan dada Vany dan manis susunya. Vany mengelus-elus rambutku dengan sayang.
“.... Kakk... Mmmhh.... Suka banget ya?” tanyanya perlahan.
“... Mmmm... Cppp... Sllrpp... Enak banget... Vann... Mmm...” kataku dengan mulut penuh. Aku menegakkan diri, menjilat ceceran air susu di sekitar mulutku, dan mengecup bibir adikku lembut.
“Kamu pinter kasi kejutan...” bisikku. Vany tersenyum.
Kami berciuman lagi. Tangan kiriku merogoh ke bawah perutnya yang buncit, masuk ke dalam celana pendek dan celana dalamnya. Sudah basah sekali.
“Basah banget, Van?” godaku.
“Iihh... Kakak kan yang bikin gituu...” katanya manja. “Ahh!!”
Aku memasukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke dalam vaginanya yang telah sangat basah sehingga Vany berjengit.
“Kakk... Nakal bangett... Mmmhh... Mmmmnn... Mmmhhh!”
Jemariku keluar-masuk vaginanya, makin lama makin cepat. Vany menggeliat, mengejang. Aku tahu sebentar lagi ia akan orgasme.
“Ayo, Sayang... Keluarin aja...” kataku sambil terus memainkan jemariku di dalam vaginanya. Vany tak tahan lagi.
“Kakkk... Kaa... Ahhhh... Aaahhh... Kkkaakk... Mauu... Kellluarr... NNnnhh!!!”
Tangan kiriku tersiram cairan dingin kuat-kuat. Vany squirting kuat sekali.
“Ooohh.... Oohhh... Kaakk... Kakkk...” kata Vany terengah.
“Kamu masih kuat ya squirtingnya,” kataku, tersenyum.
“Ayo Kak... Lanjutin...” pintanya.
Aku menurut. Perlahan, aku menciumi leher Vany, kemudian turun ke dada dan perutnya yang mulus. Tubuh Vany bergetar saat ciumanku turun dari perut ke arah pinggang bawahnya. Dengan lembut kubuka celana pendek Vany. Vany mengenakan celana dalam pink tipis berenda, serasi dengan BHnya. Sudah basah kuyup.
“Buka aja ya?” tanyaku. Vany mengangguk, mengangkang untung memudahkan kakaknya membuka.
Kubuka celana dalam adikku perlahan. Bibir vaginanya yang ditumbuhi rambut sangat tipis menjadi lebih tembem sekarang setelah ia hamil, agak berdenyut setelah tadi keluar sekali. Tanpa ragu-ragu aku membenamkan kepalaku di selangkangannya. Vany menggrunjal.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Kuciumi vagina adikku dengan nikmat. Wangi segar sekali. Perlahan, kujulurkan lidahku ke dalam vaginanya dan mulai menjilati dinding bagian dalam vagina Vany.
“Mmmnnn... Aaahh... Kakkk... Pelan... Oohh....” desah Vany, mencengkeram rambutku. Aku memainkan lidahku semakin liar di dalam vagina adikku. Vany mengejang.
“Kakkkkk.... KKAAKKK!!!”
Vany menjerit sambil squirting untuk kedua kalinya, menyiram wajahku dengan cairannya. Tubuhnya gemetaran hebat, nafasnya tersengal. Kulepas kaosku untuk mengelap wajahku yang basah kuyup.
“Hhh... Hhhh Kakk... Hhh...” dada dan perut Vany bergerak naik-turun menggiurkan, mengatur nafas.
“Ayo, giliran Kakak ya sekarang...” kataku sambil menegakkan diriku di hadapannya, menyodorkan penisku ke arah wajahnya.
Vany mengangguk, beringsut menegakkan diri perlahan. Perutnya yang besar membuatnya tak selincah dulu. Vany duduk bersender ke kepala ranjang, dan mengelus penisku perlahan. Dengan tatapan menggoda, Vany menjilati penisku yang sudah sangat tegang. Dijilatinya dengan lembut dari pangkal hingga kepalanya, kemudian Vany memutar-mutar lidahnya di kepala penisku.
“Mmm... Sllrpp... Kasian udah lama ga dijilat aku... Mmmm..” kata Vany manja. Aku nyengir sambil menahan nikmatnya.
“Ngghh... Sedot... Sedot aja sayang,” pintaku.
Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya, dan dengan ahli mengulumnya. Kepalanya bergerak maju-mundur. Enak sekali.
“Aahh... Vannn... Mmmmnnhh.... Kamu emang jago... Nggg...” desahku.
Vany menggerakkan lidahnya di bagian bawah penisku sambil terus mengulum dan menyedotnya kuat-kuat. Teknik oral sex adikku sudah sangat hebat sekarang.
“Mmmm... Sllrppp... Cppp... Tabah besal lagii.. Nagalll.. Sllrpp... (Tambah besar lagi... Nakal)” katanya dengan mulut penuh. Vany semakin mengencangkan sedotannya. Kalau seperti ini aku tak akan tahan lama.
“Ss.... Sayangg... Mau kuarr... Nnggghhh... Titt... F... uck aja...” desahku tak kuat.
“Oke...” katanya.
Vany menghentikan sedotannya dan memegang penisku. Ia mengarahkannya ke arah putingnya yang juga telah tegang, dan memainkan penisku di situ. Enak sekali rasanya.
“Vaann... Vannn... Nngghhh....” aku benar-benar tak tahan.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya menikmati. Vany meremas dadanya hingga air susu mengalir keluar dari kedua putingnya. Ini sudah keterlaluan.
“VaannnNNNNN!!!!” aku meledakkan spermaku berkali-kali ke atas dada adikku yang besar, ke leher dan wajahnya. Enak sekali. Vany menjilat sperma yang ada di sekitar bibirnya sambil mengocok penisku yang masih tegang perlahan.
“Mmm... Kakak ga seru nihh... Masa digituin aja langsung keluar...” ujarnya bercanda.
“Ya lagian kamu disuru titf*ck malah maen-maenin di puting kamu... Pake keluar susunya segala lagi... Mana tahan,” kataku membela diri. Vany nyengir lebar.
“Segitu sukanya ya aku titf*ck?” bisiknya perlahan. Tersenyum, kuletakkan penisku di belahan dadanya. Empuk dan lembut sekali, kulitnya sungguh-sungguh mulus. Vany menekan kedua dadanya yang luar biasa bulat dan besar, menjepit penisku di tengah, dan mulai menggerakkannya naik-turun.
“Ooohhh... Vannn... Ini enaakkk.. nngghh... banggett...” kataku dengan suara tercekat. Penisku terasa berdenyut-denyut di tengah bekapan dadanya. Sensasinya luar biasa karena bagian samping penisku terbungkus dadanya yang besar dan empuk sementara bagian bawahnya tertekan perutnya yang buncit dan keras. Benar-benar tak bisa dilukiskan nikmatnya.
“Mmmnnhh... Vannn.. Vann...” tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku yang hilang-timbul dari balik dadanya.
“Ngghh.. Vann.. Vann... Kakak mau.. keluarr... Mmmnnhhh...” aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Jepitannya terasa semakin kuat.
“Kuarin di mulutku ya, Kak...” katanya. Aku mengangguk-angguk.
Vany melepas jepitan dadanya dan segera menyedot penisku kuat-kuat. Aku menyemprotkan spermaku ke dalam mulutnya berkali-kali, rasanya tak mau berhenti. Mulut Vany terlalu mungil untuk menampung semuanya, sehingga sebagian menetes ke dagu dan dadanya. Penisku masih tegang. Tak ada tanda-tanda akan melemas sedikit pun. Badanku masih menginginkannya.
Vany menelan sperma kakaknya. Seksi sekali.
“Kamu selama kakak pergi sering nonton bokep ya?” tanyaku tiba-tiba.
“Hahahahaha.. Koq kakak tauu??” tanyanya polos.
“Gayanya udah persis gitu...” Vany terkekeh. Tangannya bergerak turun, mengelus perutnya yang buncit, dan merogoh vaginanya. Jemarinya membuka bibir vaginanya, memamerkannya padaku.
“Ayo Kak... Katanya pengen ngerasain...” godanya.
Aku tersenyum. Kuarahkan penisku ke vagina adikku, kumainkan bibir vaginanya yang tembem dengan kepala penisku.
“Nngg... Kaak... Ayoo masukiinn...” pintanya tak sabar.
“Iya iya ini yang udah ngebet siapa sih sebenernya..” candaku. Vany terbahak.
“Makanya cepett...”
Aku menunduk, mengecup perut adikku yang buncit dan mulus.
“Papi masuk ya...” kataku meminta izin pada anakku. Vany tertawa lagi.
“Kaakk... Ayoo...”
Tak perlu disuruh lagi, aku segera menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Hangat dan sempit sekali, lebih nyaman dari vagina-vagina lain. Vany menggrunjal, tangannya yang mungil mencengkeram seprei. Kugerakkan pinggulku perlahan di hadapannya.
“MMnnhhh!! Kakk... Aaahhh... Aahh.. Ahh..” desahnya tiap kali penisku menghantam mulut rahimnya. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan seirama tusukanku. Sesekali air susu merembes keluar dari putingnya.
“Vaann.. Nghh.. Nghhh... Jadii... Anget... Bangett.. Ahh...” kataku.
“Mmhhh.. Mnnhhh... Ahh.. Kakk.. Kak pelan.. pelaann...”
Aku meremas dada Vany yang penuh susu. Air susunya muncrat keluar, membasahi tanganku. Sambil terus menghujamkan penisku, aku menunduk, menyedot dan menjilat putingnya, meminum susu adikku yang manis.
“Aahh.. Ahhh.. Kakk... Kakkk... Mmnhhh... Mauu...” desahnya terbata. Wajahnya merah padam. Aku tahu Vany sudah hampir mencapai klimaksnya.
“Nnghhh... Keluarin.. Keluarin sayangg...” ujarku, mempercepat genjotanku.
Vany mencengkeram seprei kuat-kuat. Aku tahu jilatan dan kulumanku di putingnya semakin merangsangnya, sehingga kumainkan lidahku di atas puting kirinya yang super sensitif. Vany mengejang, tak tahan.
“Kaaakkkk... KAAKK!!!” Vany menjerit sambil squirting kuat-kuat. Air susunya menyemprot keluar ketika ia mencapai orgasme. Luar biasa sekali. Vaginanya pun menyempit drastis, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“MMhhh.. S... Sayangg.. Enakk bangettt... Ngghhhh...” bisikku.
“Kakk... Ahhhh... Ahh.. Hhh... Pelan... Pelann...” desah Vany di balik nafasnya yang tersengal. Keringat membanjiri tubuh kami. Tangannya merangkul leherku.
“Vann... Kamu.. Nghh... Tambah... Mmhh.. Sempit.. Tauu...”
“Aahh... Ahhh... Tapi.. Tapi ntar.. Bayinya... Sakit... Aahhh...” kata Vany sambil mengelus perutnya.
Aku tertegun.
“... Hhh... Hhh... Kenapa Kak?” tanya Vany heran karena aku tiba-tiba berhenti.
“... Hm? Oh... Nggak... Gapapa...” kataku, menggelengkan kepala. Ini persis dengan mimpiku berbulan-bulan lalu saat belum mengetahui bahwa adikku sedang mengandung anakku.
“Kurang kenceng, kah?? Oke bentar...” kata Vany. Tiba-tiba ia berkonsentrasi, mengetatkan jepitan vaginanya, dan mengeluarkan ‘jurus’nya: penisku seketika seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan.
“Nngggaahhhh... Vaann... Vann.. Vaannn... Kakakk... Ga bilang gitu...” kataku, menahan sensasi nikmatnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat.
“Mmhhh... M... Lagian... Tau-tau... Ahh.. Diem gitu...”
“Iya dehhh... Cepet deh... Mmmhhhh...” kataku, mempercepat hujamanku. Kulumat bibir adikku. Lidah kami saling berbelit, berdecak. Penisku sekali lagi diserang gelombang Vany, dan aku sudah tak tahan lagi.
“Mmmmwahh... VaannnnnnnNNNN!!!!” seruku sambil melepas ciuman. Aku mengeluarkan cairan putihku di dalam vaginanya berkali-kali. Vany mengencangkan vaginanya, membuat penisku serasa diperas.
Kucabut penisku saat masih belum berhenti keluar, dan meledakkan sisa sperma di atas perut adikku yang sedang hamil. Vany terbaring terengah-engah; cairan putih kental mengalir keluar dari dalam vaginanya membasahi pahanya dan ranjangku. Perutnya yang buncit, terlihat mengkilat karena keringatnya tertimpa cahaya lampu kamarku, bergerak naik-turun. Vany memejamkan mata, menikmati sensasi yang masih tertinggal.
Kududukkan diriku di sisinya. Penisku sudah linu, tapi masih tetap meminta lebih lagi. Vany menyenderkan kepalanya di bahu kakaknya. Kukecup kepala Vany.
“Masih mau lagi ya, Kak?” tanyanya saat melihat penisku yang masih tegak berdiri.
“Mungkin sekali lagi... Kamu udah capek belon?”
Vany menggeleng.
“Yuk... Anal?” tanyanya. Aku nyengir dan mengangguk. Vany beringsut menegakkan dirinya dan berjongkok di atas penisku, membelakangi aku. Kuremas pantatnya yang besar dan montok.
“Sekarang bahkan lebih besar dari Cherry...” kataku memuji.
“Kan hamil.. Ntar Cherry kalo hamil juga pasti lebih gede lagi...” katanya. Aku tertawa. Tak terbayang seberapa besarnya pantat sahabatku saat hamil nanti.
Kubuka bongkahan pantat adikku, menampakkan anusnya yang baru sekali dimasuki. Perlahan, Vany menurunkan pinggulnya ke atas pangkuanku, hingga penisku perlahan masuk ke dalam anusnya yang sempit. Sensasi lembut pantatnya dan sempit anus adikku membungkus penisku. Enak sekali.
“Mmmhhh... Vannn...” kataku sambil mulai perlahan menggerakkan pinggulku naik-turun.
“Ngghh... Kakk... Kalo bukan... Nhh... Kakak... Aku ga mau loh di anal... Mmhh...” ujarnya terbata. Vany menyenderkan punggungnya ke arahku.
“Mmhh.. Mmhh.. Tapi... Kamu... Suka kan...” kataku. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“Aahh.. Ahh... Nnhh... Se... Sekarang sih... Nggaahh.. Sukaa... Aaahh...” desahnya. Kuremas-remas dada adikku dengan nikmat, memeras air susunya hingga menyemprot-nyemprot keluar. Penisku menghujam ke dalam anusnya berkali-kali, semakin lama semakin cepat. Enak sekali, sempit sekali.
“NMmhh... Sayang... Ini sempit bangetttt... Mmmhhh....” kuciumi lehernya. Pinggul Vany mulai bergerak naik-turun juga, membantuku.
“Aaahh... Aaahh... Kakkk...” desah Vany sambil membelai perutnya. Tanpa sadar, tangannya merogoh ke arah vaginanya yang masih berlumuran spermaku dan mulai memasukkan jemarinya sendiri ke dalam.
Kumainkan, kucubit puting adikku yang tegang. Nafas kami seolah seirama sekarang. Erangan dan desahan memenuhi kamarku malam itu.
“Kakk... Aahhh... Kakk... Aaaahh... Ahh.. Keluar... Keluarrr...” desah Vany tak karuan. Jemarinya semakin cepat memainkan vaginanya sendiri. Genjotanku semakin kuat di anusnya.
“Bentar.. Bentarrr... Bentar Vann... Nnhh... Bar.... enggg.. Yuk...” kataku.
“Kaakk... Kakk... Ga kuatt... Nggahhh... GGHhh.!!!... Kaaakk... Kakakkkkk!!! KAAAK!!”
“Oke.. Ohhhh... VaannNNN!!! Vanyyy!!!”
Kami orgasme bersama. Kuledakkan berkali-kali spermaku ke dalam anusnya. Tanganku meremas kuat-kuat dada Vany hingga saat ia squirting, air susunya menyemprot kuat-kuat keluar, tak henti-henti.
Kami merosot lemas ke atas ranjang. Vany berguling ke sebelahku, terkulai. Anus dan vaginanya masih berlumuran sperma kakaknya. Kepalaku sakit sekali rasanya setelah keluar empat kali berturut-turut. Rasanya ML malam ini cukup untuk beberapa hari. Kupejamkan mataku. Kami langsung tertidur tanpa berkata apa-apa.
Aku terbangun tiba-tiba, kedinginan. Kulirik jam di dinding kamarku... Samar-samar... Pukul enam pagi. Pandanganku kabur, tapi sakit kepalaku telah hilang. Aku menoleh ke sisiku, tinggal seprei dan selimut kosong. Vany rupanya sudah bangun lebih dahulu.
“Ehh... Udah bangun...”
Aku menoleh, melihat Vany masuk dari arah pintu tembusan ke kamarnya, sedang mengancingkan kemeja putih SMPnya. Sepintas aku melihat kulit mulus perut hamilnya di balik kemeja itu.
“Mmhh... Mau berangkat sekolah?” tanyaku lemas.
“Yup!” ujarnya riang. Aku selalu heran pada semangat yang dimiliki adikku ini. Padahal malam sebelumnya kami habis-habisan ML. Pandanganku mulai jelas, dan menyadari bahwa tubuh Vany yang sedang hamil terlihat seksi sekali dalam balutan seragam putih-biru SMP.
“Oya Kak... Hari ini ada sparring basket juga pulang sekolah.. Aku mau nont...”
Kata-kata Vany terpotong. Aku telah memeluknya dari belakang dengan lembut. Kubelai perutnya yang buncit dengan kedua tanganku.
“Mmm? Napa, sayang...?” bisiknya riang. Ia mendongak, mengecup pipiku.
“Kamu seksi banget pake seragam sekolah...” bisikku di telinganya. Kukecup juga pipi Vany dengan lembut. Vany terkikik.
“Hihihi... Aku udah ngira kakak bakal bilang gitu...” katanya.
“Mm... Kamu ga boleh cape-cape loh di sekolah...” kataku menggoda sambil memegang dadanya dengan lembut. Vany mendesah pelan. “Mending di rumah...”
“Kak... Ntar aku telat lohh...”
“Kan sekolahnya deket...” bisikku sambil melepas kancing kemejanya perlahan. Kukecup belakang telinga adikku. “Kakak pengen minum susu dulu...”
“Hehehe... Ketagihan ya?” tanyanya, aku mengangguk.
“Mm... Gimana kalo kakak ntar dateng ke sekolah... Terus kita nonton basket bareng?” tawarku. Kuremas dada Vany dengan lembut. Aku merasakan puting adikku mulai menegang di balik BH putihnya.
“Hmmhh.. Boleh... juga...” desahnya. Kuangkat BH Vany hingga dadanya yang super besar jatuh keluar berguncang. Aku bergerak ke arah depan Vany dan mulai mengulum putingnya, menyedot dan meminum air susunya. Vany terduduk di atas kursi komputerku, memejamkan mata menikmati.
“Ngghh... Kakk... Kalo aku telat... Kakak yang tanggung jawab.. Ya... Mhh...” katanya sambil membelai rambut kakaknya.
Sambil mengelus perutnya yang buncit dan terus menyedot air susu adikku, aku berpikir tentang apa yang akan kami lakukan siang nanti di sekolah...
“Oohh… V… Vann… Mmmhh”
“Ohh… Oohhh… Kaakk… Kak…”
Kuremas dada adikku yang super besar. Lama sekali rasanya aku tidak merasakan dadanya yang empuk dan padat itu. Vany mengecup keningku. Nafasnya tak beraturan.
“Kakk… Kak… Pelan pelan… mmmhhh….”
“Hhh… Vann… Enak… banget… sempit banget….”
“Kakk… Mmmm… Tapi… Tapi ntar bayinya… sakit… Mmmhhh,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang buncit.
* * *
Singapore, 20 September 2008Aku terbangun. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Nafasku terengah-engah, jantungku berdegup sangat kencang. Kulirik jam di mejaku, pukul 3 dini hari. Aku memejamkan mata, berusaha mengatur nafasku. Kurebahkan diriku perlahan-lahan.
Mimpi itu lagi. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu ini aku mimpi tentang Vany yang hamil. Entah kenapa. Dan mimpinya selalu sama; selalu aku sedang ML dengan dia, dan dia berkata seperti itu.
Kujangkau handphoneku dari meja kecil di sebelah ranjang. Sinar layar HP menyilaukan mataku di kamarku yang gelap gulita. Wallpapernya menampilkan fotoku dengan Vany, adikku. Kami sedang tertawa cerah di foto itu. Aku tersenyum ganjil. Bayangan akan mimpiku masih mengganggku pikiranku. Aku tahu hubunganku dengannya sudah sangat jauh, tapi kurasa tidak sejauh itu.
Ya. Hubunganku dengan Vany sebenarnya memang sudah melebihi hubungan kakak-adik yang, secara moral, pantas (baca episode 1-4). Sejak bulan Juni yang lalu, kami bertingkah seperti sepasang kekasih, dan saling membuka dan mengakui nafsu yang sudah dipendam sejak lama (bagiku, sejak dia kelas 6 SD). Berawal dari sentuhan-sentuhan, hubungan kami semakin menjurus ke arah seksual, dan pada pertengahan Juli lalu akhirnya Vany melepas keperawanannya di tanganku, kakaknya sendiri. Kami sungguh mengerti bahwa hubungan ini terlarang, tapi sepertinya kami sudah melangkah terlalu jauh untuk dapat kembali lagi.
Tapi aku tak pernah bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau adikku ini hamil karena kakaknya sendiri. Walaupun aku tahu kenyataan bahwa setiap kali kami ML, hampir selalu aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahimnya, dan aku sungguh tahu bahwa resiko kehamilannya sangat tinggi, aku masih tetap tak dapat membayangkannya.
Aku menghela nafas, menoleh ke sisiku. Tubuh bugil Cherry, sahabatku, meringkuk di balik selimut, masih terlelap. Kupandangi wajah cantik sahabatku itu. Sepertinya sudah saatnya aku menceritakan ini padanya, sekedar minta masukan.
* * *
“Hmmm... Kalo nurut gue sih jangan dianggep terlalu serius.”
“Tapi masa seminggu tiga kali gue mimpi itu...”
“Mm... Mungkin lu kangen aja kali ma dia...”
“Ya tapi masa kangen mimpinya dia hamil?”
Aku sedang berdebat dengan Cherry soal mimpiku semalam sepulang kuliah. Kami berada di halte, sedang menunggu bus yang akan membawa kami pulang ke tempat kos. Singapura panas sekali hari itu. Sinar matahari sore serasa menyengat kulit kami. Cherry mengeluarkan kaca mata hitam.
“... Lagian adek sendiri di MLin sih...” katanya perlahan sambil mengenakan kaca mata hitamnya, setengah bercanda.
“Yee...”
Bus kami datang. Berdesakan, aku menggandeng tangan Cherry agar tidak terpisah, dan kami pun masuk ke dalam bus. Penuh sesak, kami terpaksa berdiri berimpitan di dalam bus. Aku berdiri di belakang sahabatku.
“Tapi bener loh, Dit...” lanjut Cherry. “Mungkin sebagian diri lu ngerasa berdosa, dan jadi agak ada takut bahwa hal itu mungkin terjadi.”
“Iya sih...” Aku pun menyadari hal itu. Mungkin memang itu yang terjadi.
“Udah lah gausah dipikirin lagi...” katanya. Cherry perlahan menekankan pantatnya yang luar biasa montok ke arah selangkanganku. Cherry memakai hot pants yang super pendek siang itu, sementara pantatnya memang jauh lebih besar dari rata-rata, sehingga sebagian bongkahan pantatnya yang bulat agak menyembul keluar dari bawah celananya. Aku meremas pantatnya sambil melotot memperingatkan. Sahabatku ini nyengir nakal... Dasar...
“Tapi kalo emang ternyata bener dia hamil gimana?” bisikku di telinganya. Aku harus berhati-hati untuk tidak berbicara terlalu keras karena Bahasa Indonesia sedikit banyak mirip Bahasa Melayu, yang masih dipahami orang-orang Singapura. Masalah yang aku perbincangkan ini cukup sensitif.
“... Gue bahkan baru mau nanya itu ke lu... Kalo bener gimana?” Cherry bertanya balik. Aku terdiam. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana.
“Ya paling dibawa kesini lah si Vany...” jawabku setelah beberapa lama.
“Ya... Mungkin gitu...” Cherry mengiyakan, setengah tercenung. Ia menggerakkan pantatnya yang menempel di selangkanganku naik-turun.
“Heh! Cher! Di bus ini...”
“Alaa... Lu udah ngaceng gitu...” katanya jahil.
“Gue udah ngaceng dari tadi sejak ngeliat lu... Tapi tetep aja! Aduh tunggu bentar napa sih bentar lagi juga sampe rumah!” kataku tak sabar. Sulit sekali menahan nafsu jika selangkanganku di gesek-gesek pantat semontok dan sebesar pantat Cherry.
“... Mungkin bentar lagi udah ga bisa sesering ini loh lu anal gw...” katanya perlahan. “... kalo Vany dateng?”
“Ah nggak lah...” jawabku sambil mendorong pantat Cherry menjauhi selangkanganku.
* * *
“Oohh... Cherryy... Chherr... Nnhhh...”
Aku menampar pantat Cherry dan meremasnya kuat-kuat. Sungguh belum pernah ada pantat cewek lain yang kukenal yang sebulat dan semontok pantat Cherry; rasanya sungguh kenyal dan padat! Cherry menggeletar, meliuk di atas tubuhku sambil bergerak naik-turun dengan cepat. Penisku menghujam anusnya berkali-kali dengan kuat. Keringat membasahi tubuh kami berdua.
“Nnnggghh!!! Nnggghhhh... Addiiitt... Mmmhhh...” lenguh Cherry keenakan. Ia menggigit bibir bawahnya yang tipis. Cherry sudah orgasme tiga kali sore itu, tapi tetap saja tak berkurang tenaganya.
“Cherrr... Cherryy... Asstagah enak bangettt...”
Aku merasakan bongkahan pantat Cherry yang super montok menghantam-hantam pahaku. Enak sekali rasanya. Anusnya ketat sekali menjepit penisku, ditambah dengan empuknya pantat Cherry yang membungkus penisku. Aku tak sedetik pun melepaskan cengkeraman tanganku dari pantatnya.
“Cherr.. Cherrr gue mau kkuarr... Nnnghhh...”
“Aaahh... Aaahhh... Lagi? Mmmmnnhh... Tahann dulu Hunny... Nnnhh...” desahnya. Aku sudah keluar sekali dalam vaginanya dan sekali kali dalam anusnya.
Ini gila. Aku sudah tidak kuat lagi.
“Mmmmhhh... Bodooo.. Bodo ahh.. Gue mau kuarin ajaa... Mmmmmhhh... Ga kuat Cherrr...”
“Tungguu... Tunggu barengannn.. Mmmmhhh gue juga udah mau kuarrr... Aahhh... Ngghhh!!! NNHHH!!!”
“Ga kuatt.. Ga kuaattt!!! MMMHHH!!!”
Aku menyemprotkan spermaku berkali-kali ke dalam anusnya, sementara Cherry squirting kuat-kuat, membasahi pinggang dan perutku. Aku mencabut penisku yang sudah ngilu dari anusnya, dan segera aku merasakan cairan putih mengalir deras keluar dari anusnya, seolah sumbatnya baru terlepas.
Cherry roboh ke atasku, terengah-engah, mengecup bibirku sambil mengelus dadaku. Aku memejamkan mata. Dahsyat sekali.
“Hhh... Lu gila Cher...” kataku terengah. Cherry tertawa lemas.
“Haha... Abisnya bentar lagi kan ga bisa seheboh ini lagi...”
“Hus... Yakin banget sih lu...”
Cherry hanya mendengus tertawa. Kami tak memiliki energi lagi untuk membahas hal ini.
* * *
Cherry begitu dahsyat sore hari itu ML dengaku, hingga aku sudah hampir lupa sama sekali akan mimpiku tentang Vany ketika tiba-tiba aku dibangunkan oleh dering handphoneku. Terkejut, aku terjaga seketika. Kamarku gelap, remang-remang diterangi sinar matahari yang sudah sangat redup. Langit berwarna keunguan. Kulirik jam dinding, pukul 7 malam Singapura. Rupanya kami tertidur sekitar sejam. Cherry masih tertidur, tertelungkup di atasku. Perlahan, kupindahkan tubuh bugil sahabatku ke atas tempat tidur, kuselimuti dengan selimutku, dan kuambil handphoneku.
Ada sebuah sms baru masuk... Dari Vany, adikku.
Kak, Skype skg bole? Aku prlu ngmg
Singkat. Terlalu singkat. Aku menangkap urgensi dalam nada pesan singkat adikku. Mencurigakan. Ah, atau hanya pikiranku saja? Tapi jantungku berdegup sangat kencang. Aku tak tahu kenapa.
Kunyalakan Skype melalui laptopku. Begitu melihatku online, Vany segera memanggilku. Koneksi tersambung setelah beberapa saat. Layar komputer menampilkan wajah adikku, Vany, tersenyum manis seperti biasa, malah cenderung nyengir.
Aku tak dapat mengartikan ekspresi wajahnya. Aku menangkap kegembiraan yang sangat meluap-luap dari dalam diri adikku ini, tapi aku juga menangkap ketakutan dan kekuatiran dari sorot matanya.
“Hai, Kak...” katanya sambil melambaikan tangan.
“Hai... Ada apa?” tanyaku, langsung pada sasaran. Setelah bertanya aku baru sadar nadaku agak terlalu tegas.
“Hm? Eh...” kata Vany gelagapan. Rupanya tak menyangka akan langsung ditanya. “Eh... Aduh harus mulai dari mana ya...”
Aku diam dan menunggu. Jantungku berdebar sangat kencang, dadaku sakit rasanya. Vany memejamkan mata, menggeleng pelan. Sambil menghela napas panjang, ia membuka mulutnya yang mungil.
“Aku hamil, Kak...”
Entah bagaimana, aku tidak kaget sama sekali. Mungkin karena telah dipersiapkan dengan mimpi-mimpiku itu. Sungguh, aku tidak kaget sama sekali. Melihat aku terdiam, Vany melanjutkan.
“Aku udah ga dapet 2 bulan sejak awal Juli kemaren. Terus sejak seminggu yang lalu tiap pagi mulai muntah-muntah... Jadi aku periksa pake alat cek kehamilan... Hasilnya positif,” jelas Vany.
“Jadi... Aku bilang ke mami, terus 3 hari yang lalu aku dianter mami ke Tante Rina, dicek. Hari ini hasilnya keluar... Bener positif aku hamil... Udah 11 minggu... Jadi hampir 3 bulan,” lanjutnya. Tante Rina adalah dokter keluarga kami, dulu beliau lah yang membantu ibuku melahirkan aku dan Vany.
Aku terdiam. Tak tahu harus bertanya apa. Aku tahu itu pasti anakku, tapi aku tetap bertanya.
“... Itu... Anak...?”
“Anak Kakak...”
“Pasti?”
“Ya. Udah di cek tadi sama DNA Kakak. Si tante masih punya ternyata sample nya,” jelas Vany panjang lebar, dengan tenang, cenderung riang. “Lagian aku ga pernah ML sama cowo laen.”
“Jadi... Mami uda tau?” tanyaku.
Pipi Vany merona merah. Sambil tersenyum ia menjawab, “Mami uda tau sejak kita ML, Kak...”
Kali ini aku terkejut.
“Hah? Koq bisa??”
“Mami... Tadi mami bilang sama aku, mami pertama kali taunya tuh waktu itu pernah kebangun suatu malem sekitar pertengahan Juli abis pulang dari Semarang,” kata Vany. Pertengahan Juli, aku berpikir, berarti itu malam-malam terakhir aku dan Vany ML sebelum vakum selama hampir 2 minggu dan ML lagi di malam terakhirku di Jakarta (Baca episode 4).
“Terus?”
“Terus mami pas kuar kamar, mau turun minum di bawah, lewat kamar kita. Dia denger suaraku desah-desah gitu,” kata Vany. “Pertamanya mikir cuma Kakak lagi nonton film bokep, tapi terus dia nyadar koq suaranya kedengerannya dari kamarku. Jadi terus dia deketin pintunya.”
“Terus Mami coba buka pintu, ternyata ga kekunci. Ya terus mami ngeliat kita lagi ML lah... Katanya mami ngintip sampe kita kelar....” lanjut Vany sambil tertawa kecil. “... Terus katanya mami juga pernah masuk kamarku pas kita lagi mandi bareng sore-sore... Jadi udah beberapa kali tau lah...”
Aku terdiam, tak percaya. Bagaimana mungkin ibuku telah mengetahui hubungan terlarang kedua anaknya selama ini dan tak menghentikannya?
“Koq... Koq ga dihentiin ya sama mami...” tanyaku bingung.
Vany mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. “Nggak tau... Aku tadi juga tanya gitu...”
“Terus mami bilang apa?”
“Katanya... Uda terlanjur mau diapain lagi...”
Aku mengangguk. Memang seperti itulah ibuku. Ia tak pernah berusaha mengubah bubur menjadi nasi. Dalam hati aku sangat berterima kasih atas pemahaman ibuku.
“Jadi Papi-Mami udah tau...”
“Belum, Papi belum,” ujar Vany. Kali ini suaranya agak bergetar. “... Mungkin malem ini kita kasi tau papi.”
Aku mengerti ketakutan Vany akan ayahku. Pasti beliau akan murka besar mengetahui anak gadisnya dihamili oleh anak sulungnya sendiri. Aku pun ngeri. Pikiranku campur aduk sekarang.
“Van... Bagaimana pun papi harus tau,” kataku. Vany mengangguk tegas.
“Ya. Aku sih udah siap nanggung semua resikonya, Kak...”
Tertegun, aku terdiam sejenak. Tak kukira Vany setegar dan memiliki hati sekeras itu. Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar luar biasa ini.
“... Kamu hebat, Van...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Kak... Kakak bakal tanggung jawab ‘kan?” Vany bertanya tanpa ragu.
“... Pasti,” jawabku. Entah kenapa keyakinan mengalir kuat di hatiku. Vany tersenyum lega. “Kita tanggung sama-sama. Kita yang berani berbuat koq, ya harus kita yang nanggung akibatnya.”
“Ya,” jawab Vany.
Kami terdiam, tak tahu harus ngomong apa.
“Van...” kataku akhirnya. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku.
“Ya?”
“... Koq kamu bisa setegar dan seceria itu? Kamu... Kamu bakal kehilangan sebagian masa ABGmu,” tanyaku. Vany terdiam sejenak.
“... Aku...” katanya, menunduk, melihat ke arah perutnya yang tak terlihat berbeda. ”... Aku seneng bisa hamil anak Kakak... Seneng banget.”
* * *
Semuanya berjalan sangat cepat. Ayahku, di luar dugaan, tidak marah sama sekali saat mengetahui perbuatan kedua anaknya. Beliau hanya menyatakan kekecewaannya yang sangat besar, dan justru hal itulah yang membuat aku dan Vany merasa sangat berdosa. Tapi saat semua itu berlalu, kedua orangtuaku menjadi sangat antusias menyambut kehadiran seorang anggota keluarga baru, cucu pertama mereka.
Setelah negosiasi dengan pihak sekolah, Vany diputuskan untuk mengikuti sekolah hingga akhir semester pertama kelas 3 SMPnya, kemudian pindah ke Singapore untuk menutupi masalah ini. Setelah melahirkan, Vany boleh melanjutkan sekolah, tapi harus mengulang dari awal kelas 3 SMP. Vany setuju akan hal ini.
Hal lain yang perlu dihadapi Vany tentu saja soal teman-temannya. Seperti sudah diduga, sebagian besar teman-teman Vany di sekolah segera menyebarkan berita kacau ini ke seantero sekolah, dan mulailah orang-orang memandang Vany dengan tatapan sinis. Aku bersyukur karena memiliki adik yang sangat keras hati dan teguh, di samping juga ia memiliki satu grup sahabatnya yang tetap menyayangi, melindungi, dan terutama, menerimanya tanpa pandang bulu.
Vany diharuskan mengikuti terapi khusus secara intensif oleh dokter untuk memperkecil kemungkinan cacat pada bayi kami, mengingat anak hasil hubungan inses memiliki kemungkinan cacat, baik mental maupun fisik, yang besar. Untungnya, jika terapi dilakukan sejak usia kehamilan masih sangat awal, tingkat keberhasilannya menjadi sangat besar.
Dan tak terasa, bulan November sudah mendekati akhirnya. Perut Vany semakin membesar. Kuliahku berjalan sangat lancar, dan aku akan pulang ke Jakarta pada akhir bulan ini. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan adikku satu-satunya. Webcam dan foto yang dikirimkan padaku tak cukup memuaskan kerinduanku untuk bertemu secara fisik dengan Vany, dan calon anakku yang ada di dalam perutnya... Dan tentu saja aku ingin merasakan bersetubuh dengan cewek hamil
* * *
Singapore, 29 November 2008, 10.15pm
“Hahahahaha... Ih Kakak parah!! Hahahaha...”
“Loh tapi bener kan?? Pasti jadi lebih berat! Kan ditindih 2 orang!”
Malam itu aku sedang bercanda dengan Vany melalui webcam. Ini malam terakhirku di Singapore untuk semester ini. Aku akan pulang ke Indonesia besok siang. Barang-barangku sudah terpak rapi di dalam koper.
“Eh, Kak, aku udah musti tidur... Dokternya bilang jam 10 batas maksimal sebetulnya,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang sudah jelas terlihat buncit. Janinnya bertumbuh sehat dalam kandungan Vany yang sudah hampir mencapai bulan ke 5.
“Oiya.. Udah 10.15 malah sekarang... Yaudah kamu istirahat aja...” kataku sambil tersenyum.
“Sampe ketemu besok... Jangan ada yang ketinggalan!” ujar Vany mengingatkan. Sudah persis ibuku.
“Hahaha kamu tuh uda persis mami tau nggak ngomonginnya...”
“Iiih... Apa coba...” ujarnya. Aku tertawa lagi.
“Kangen banget sama kamu, Yang...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Aku juga kangen sama Kakak...” bisiknya. “... Udah ga tahan.”
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahaha akhirnya kamu juga yang nggak tahan!”
“Halah Kakak pasti uda lebih ga tahan lagi kan??” tebaknya tepat.
“Pengen nyoba ML sama cewe hamil...” kataku jujur. Muka Vany merona.
“Dasar...” katanya pelan. Tapi ia tetap nyengir malu. “Aku punya kejutan buat Kakak soal itu...”
“Apa tuh?” tanyaku penasaran.
“Ada lah... Pasti Kakak suka... Tunggu aja besok,” jawabnya sambil nyengir nakal.
“Hahaha kamu tuh... Yaudah... Nitez, Van...”
“Nite, Kak... Nggak bilang nitez sama baby?” katanya sambil mengedik ke arah perutnya.
“Oiya... Nite Nite, Baby!” ujarku.
Vany tertawa, melambaikan tangan, melemparkan kecupan, dan mematikan webcam.
* * *
Terminal 2, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta,
30 November 2008, 18.05
Aku berjalan, setengah berlari, ke arah tempat pengambilan bagasi. Jas hitamku berkibar diterpa angin. Kebetulan aku mendapat kursi tempat duduk terdepan di pesawatku pulang, sehingga imigrasi pun kulalui dengan cepat (tidak perlu ngantre).
Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah koper hitam besar bergaris cokelat muda muncul di conveyor belt. Segera kuambil koperku, kuletakkan di atas troli bersama ranselku, dan mulai berjalan, sedikit tergesa, ke arah luar. Hatiku berdebar-debar mencari wajah yang kukenal.
Dan di tengah kerumunan orang yang menunggu kerabat, teman, atau kenalan yang datang hari itu dari Singapura, aku melihat wajah ibuku; tersenyum cerah melihat anak sulungnya, melambai bersemangat. Ayahku di belakangnya, tinggi menjulang, nyengir melihatku. Di sebelahnya... Jantungku seolah berhenti berdetak.
Vany berdiri di samping ibuku, nyengir sangat lebar. Rambutnya yang dulu sangat pendek-kaku sekarang panjang terurai sebahu. Pipinya yang tirus sekarang menjadi agak chubby, tapi justru membuat wajahnya menjadi cantik dan anggun sekali; hanya sedikit tersisa kesan kekanak-kanakannya. Adikku mengenakan t-shirt hijau muda, ditutupi cardigan warna broken white, dan celana putih selutut. Perutnya yang buncit tampak jelas menyembul keluar, dan tentu saja... dadanya... astagah, apa tambah besar lagi?
Aku melihat pandangan beberapa orang di sekitar Vany yang agak heran, karena bagaimana pun tampang adikku masih seperti anak kecil, tapi jelas sedang mengandung. Tapi aku tak peduli, dan aku tahu Vany juga tidak peduli. Belum sampai aku ke pembatas yang memisahkan penjemput dan orang yang dijemput, Vany sudah berlari menghambur dan memelukku erat-erat. Aneh rasanya, ada yang mengganjal di bagian perut. Tapi aku pun memeluk erat adikku.
“Kaaaaakkkkk... I miss you soo muchhh!!” ujarnya tulus. Aku tertawa dan membelai rambutnya.
“I miss you too, Hunny...”
Kami melepas pelukan, dan aku memandangi adikku yang berseri-seri, dan tentunya memperhatikan perutnya yang buncit. Ia memukul lenganku.
“Koq ngeliatnya kayak gitu?” tanyanya geli.
“Masih heran ngeliat kamu hamil...” kataku jujur. Vany terbahak.
“Mau pegang ga?” katanya, menyodorkan perutnya.
Aku mengulurkan tanganku, entah kenapa agak gemetar, dan dengan canggung mengelus perut Vany. Bulat dan mulus sekali rasanya. Vany tertawa lagi, menyadari kecanggunganku. Ia menggamit lenganku dengan sayang dan kami berjalan ke arah kedua orangtua kami.
“Apa kabar, Dit?” kata ibuku sambil mengecup pipiku.
“Baik banget, Ma,” kataku, kupeluk beliau erat. Ayahku menonjok lenganku perlaan. Aku nyengir dan merangkulnya. Tinggi kami hampir sama sekarang.
“Welcome home,” katanya. Aku mengangguk dan tersenyum cerah. Memang tak ada yang mengalahkan Jakarta sebagai rumahku. Banyak hal yang berubah di keluarga ini, tapi aku bersyukur karena kasih sayang tidak berubah di antara kami.
Kami berempat berjalan keluar gedung terminal ke arah mobil. Ayah dan ibuku di depan, aku mendorong troli sambil merangkul pinggang Vany di belakang mereka.
“Kamu bedaaa banget...” kataku pada Vany.
“Hm? Beda gimana?” tanyanya.
“Beda deh... Rambutnya, semuanya...”
Aku tak mampu menjelaskan dengan kata-kata.
“Tambah cakep ga?”
“Tambah besar,” bisikku. Vany tertawa terbahak-bahak.
“Dasar Kakak...”
Sambil memelankan suaraku, aku bertanya, “Eh kejutannya apa?”
Vany nyengir nakal dan berkata, “... Ntar malem aja di kamar.”
* * *
Rumahku, 22.00
“... Jadi kalo nurut aku sih antara kru pit stop yang lain sama yang kasi aba-aba untuk jalan ada salah paham.”
“Terus Massa langsung jalan aja gitu?”
“Ya. Langsung tancep gas, selang bensin masih nempel padahal. Jadi orang yang bagian ngisi bensin langsung kebanting gitu.”
“Hooo... Wah seru ya.”
Kami sekeluarga sedang duduk-duduk di sofa ruang tengah rumah kami, menonton pertandingan Manchester United vs Manchester City di TV sambil berbagi cerita. Aku sedang menjelaskan kepada ayah, ibu, dan Vany tentang insiden Felipe Massa yang menarik selang bensin dan membuat salah seorang kru Ferrari terpelanting pada balapan F1 di Singapura bulan September lalu. Kebetulan aku mendapat free pass untuk masuk ke area tribun VIP karena aku magang sebagai stage crew untuk acara di F1 Executive Lounge. Tempat dudukku sangat dekat dengan area pit stop, sehingga dapat melihat insiden Massa dengan sangat jelas.
“Sayang ya... Padahal kalo ga ada kejadian itu dia bisa menang ya,” kata ayahku.
“Iya... Jadi yang menang Alonso deh...” jawabku.
Kami terdiam. Vany duduk bersandar di sebelahku sambil mengelus-elus perutnya. Entah kenapa setiap kali melihat perutnya yang buncit, penisku mulai menegang (aku segera menggeser bantal untuk menutupinya). Badanku memang lelah sekali malam itu, tapi hatiku masih ingin mengetahui kejutan yang Vany siapkan bagiku. Seolah mengerti pikiranku, Vany nyengir dan menegakkan tubuhnya.
“Hmmmh...” Vany menghela nafas dan berdiri perlahan.
“Oh ya udah jam 10 ya...” kata ibuku, tersadar.
“Ya. Aku naik dulu deh ya, Pa, Ma...” ujarnya. Ia menoleh, menatapku dengan penuh arti. “Besok sekolah juga kan.”
“Ah ya... Aku naik juga deh ya...” kataku, mengetahui maksud Vany. “Capek juga.”
Ayah ibuku tidak menjawab, saling berpandangan. Dalam hati aku sepertinya mengerti apa yang mereka pikirkan.
Kami sudah setengah jalan menaiki tangga ketika tiba-tiba ayahku memanggil.
“Kak, Dik,”
“Ya?” jawabku dan Vany berbarengan sambil menoleh. Ibuku yang melanjutkan.
“... Jangan sampe kemaleman ya kalian maennya. Vany inget Kakak baru pulang, pasti capek. Kamu juga besok sekolah kan,” ujar beliau.
Terdiam sejenak, aku dan Vany saling berpandangan.
“Iya Ma tenang aja,” jawab Vany riang.
“Nite Ma, Pa!” kataku sambil mendorong punggung Vany agar melanjutkan naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku.
Begitu pintu kamarku menutup, tawa kami meledak.
“Hahahahahaha ngasi taunya vulgar gitu sih Mami?” kataku sambil tertawa.
“Hahahahaha iya tuh parah!” mata Vany berair karena tawa.
“Hahahaha...”
Terdiam sesaat. Aku memeluk adikku dari belakang. Vany menghembuskan nafas dengan agak gugup. Tanganku mengelus perutnya yang buncit. Wangi buah-buahan khas Vany memenuhi inderaku.
“... Tapi aku bersyukur punya orangtua kayak mereka,” bisik Vany. Aku mengangguk.
“Ya... Kalo yang lain mungkin kita udah diusir,” kataku sambil mengecup belakang telinga adikku dengan lembut. Vany bergidik.
“Mmmhh... Udah lama banget rasanya ga dicium kayak gitu...” bisiknya senang. Aku tersenyum, menurunkan kecupanku ke arah rahang belakang Vany.
“Mmm... Van...”
“Hmm...? Nap...a?” tanya Vany di balik desahan.
“Gapapa... Kakak kangen banget sama kamu gini,” kataku perlahan. Tanganku bergerak, meremas dadanya yang super besar perlahan.
“Tambah gede lagi ya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Iyalah... 34DD... Mmhhh...” katanya.
“Gila cepet banget tambah gedenya!” ujarku, terkejut. Saat aku pergi bulan Agustus lalu, dada Vany berukuran 32D.
“Iyalah namanya hamil... Mmmm... Ka...ak... Pelan donkk...” desah Vany keenakan. “Ah... Tapi gemuk tau aku... Mmhh...”
“Nggak koq... Sexy... Lagian kan emang hamil pasti gitu...”
“Iya sih.. Mmmhh... Aah... Kakak... Pelan-pelan...”
Aku meremas dada Vany dengan nafsu sambil terus menciumi dan menjilati lehernya. Vany menelengkan kepalanya, memberi ruang untuk memudahkanku menciuminya. Tanganku tak cukup besar untuk membekap dada adikku. Luar biasa empuk dan padat rasanya. Penisku sudah tegang setegang-tegangnya.
“Hmmm... Vann... Empuk banget...”
“Mmmnhh... Kakk... Kak... Jangan keras-keras...”
Vany berbalik, mencium bibirku. Kulumat bibir adikku, kumasukkan lidahku yang langsung dibelitnya. Kami berciuman semakin panas. Bunyi decak lidah kami yang saling membelit tedengar sexy di kamarku yang dingin. Vany mundur hingga ke arah ranjangku dan merebahkan diri di sana, diikuti aku yang menelungkup di atas tubuh adikku, melumat bibirnya dengan lembut. Vany membelit lidahku dengan nikmat. Tanganku bergantian bermain di atas perut dan dadanya yang empuk.
“Sayang... Udah boleh tau kejutannya?” tanyaku. Vany nyengir nakal.
“Mmm... Sabar donk, yang...” godanya. Perlahan, Vany mengangkat sedikit kaos tidur biru mudanya, menampakkan perutnya yang buncit dengan jelas, menggodaku. Kulitnya mulus sekali, tak ada bekas-bekas strechmark sama sekali. Penisku rasanya berdenyut-denyut di balik celanaku.
Aku tersenyum, mengelus dan mengecup perut adikku. Masih heran rasanya akan kenyataan bahwa yang di dalam sana adalah anakku sendiri. Sekali lagi, Vany seolah membaca pikiranku.
“... Ga nyangka ya, Kak?” tanyanya.
“Iya... Tapi Kakak seneng...” jawabku sambil mengecup perutnya. Entah kenapa enak sekali rasanya.
“Aku juga...” kata Vany. “... Cowo ato cewek ya?”
“... Semoga cewek...” jawabku. Vany tertawa.
“Koq gitu?”
“Abis maminya cantik banget... Kalo anaknya cewek harusnya secantik maminya...”
“Ciah.. Gombal...” dengus Vany geli. Aku nyengir. Tanganku merogoh ke arah dadanya, meremasnya dengan nikmat. Vany membuka kaosnya seluruhnya. BH Vany yang pink berenda tampak sangat kesulitan menampung dadanya yang besar; sebagian dadanya masih ada yang menyembul ke samping kanan-kiri cakupan BH itu.
“Gede banget sih...” kataku gemas sambil meremas dadanya. Aku merasakan puting Vany sudah mengeras di balik BHnya.
“Kakak yang buka deh... Kan bukannya dari depan,” katanya.
Tak menunggu disuruh dua kali, aku membuka kancing BHnya, dan perlahan, kedua tanganku menyingkapkan BH putih itu. Dada Vany bergelayut menggiurkan saat terlepas dari bekapan BHnya. Benar-benar besar dan kencang sekarang. Putingnya jelas bertambah besar, dan sekarang warnanya menjadi lebih gelap.
Tanpa ragu-ragu aku meremas dada Vany. Montok dan kenyal sekali. Jemariku memainkan putingnya yang tegak berdiri. Vany menggeliat, menggelinjang.
“Aahh.... Kakkk... Enak bangett...” desahnya.
Aku memainkan puting kirinya yang super sensitif dengan telunjukku. Tangan kiriku meremas dada kanannya, sementara jemari tangan kananku mencubit puting kirinya. Tiba-tiba aku tertegun. Aku merasa tanganku basah. Aku mendongak, menatap adikku. Vany tersenyum. Sepertinya aku tahu apa kejutannya.
“Van... Kamu...?”
“Hehehe coba aja...”
Vany menarik kepalaku, membenamkan wajahku dalam bekapan dadanya. Empuk dan lembut sekali. Perlahan, aku menggeser wajahku ke arah putingnya. Kujilat puting kirinya perlahan. Vany mengejang.
“Kakk... Sedot aja...” pintanya.
Aku menyedot putingnya... Dan seketika itu juga mulutku tersemprot cairan... manis... Susu!
“Van! Kamu udah kuar susu?” ujarku. Vany hanya nyengir lebar dan mengangguk. Aku kembali menyedot susu dari putingya dengan bersemangat. Enak sekali rasanya. Manis dan kental. Penisku benar-benar sudah sangat tegang.
“Mmhh.. Pelan-pelan... Kakk... Mmmnn... Kakak tuh kayak bayi gede...” katanya geli. Aku tak peduli, terus menikmati air susu adikku. Bergantian aku menyedot, menjilat, mengulum puting kiri dan kanannya, sambil terus meremas-remas, menikmati keempukan dada Vany dan manis susunya. Vany mengelus-elus rambutku dengan sayang.
“.... Kakk... Mmmhh.... Suka banget ya?” tanyanya perlahan.
“... Mmmm... Cppp... Sllrpp... Enak banget... Vann... Mmm...” kataku dengan mulut penuh. Aku menegakkan diri, menjilat ceceran air susu di sekitar mulutku, dan mengecup bibir adikku lembut.
“Kamu pinter kasi kejutan...” bisikku. Vany tersenyum.
Kami berciuman lagi. Tangan kiriku merogoh ke bawah perutnya yang buncit, masuk ke dalam celana pendek dan celana dalamnya. Sudah basah sekali.
“Basah banget, Van?” godaku.
“Iihh... Kakak kan yang bikin gituu...” katanya manja. “Ahh!!”
Aku memasukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke dalam vaginanya yang telah sangat basah sehingga Vany berjengit.
“Kakk... Nakal bangett... Mmmhh... Mmmmnn... Mmmhhh!”
Jemariku keluar-masuk vaginanya, makin lama makin cepat. Vany menggeliat, mengejang. Aku tahu sebentar lagi ia akan orgasme.
“Ayo, Sayang... Keluarin aja...” kataku sambil terus memainkan jemariku di dalam vaginanya. Vany tak tahan lagi.
“Kakkk... Kaa... Ahhhh... Aaahhh... Kkkaakk... Mauu... Kellluarr... NNnnhh!!!”
Tangan kiriku tersiram cairan dingin kuat-kuat. Vany squirting kuat sekali.
“Ooohh.... Oohhh... Kaakk... Kakkk...” kata Vany terengah.
“Kamu masih kuat ya squirtingnya,” kataku, tersenyum.
“Ayo Kak... Lanjutin...” pintanya.
Aku menurut. Perlahan, aku menciumi leher Vany, kemudian turun ke dada dan perutnya yang mulus. Tubuh Vany bergetar saat ciumanku turun dari perut ke arah pinggang bawahnya. Dengan lembut kubuka celana pendek Vany. Vany mengenakan celana dalam pink tipis berenda, serasi dengan BHnya. Sudah basah kuyup.
“Buka aja ya?” tanyaku. Vany mengangguk, mengangkang untung memudahkan kakaknya membuka.
Kubuka celana dalam adikku perlahan. Bibir vaginanya yang ditumbuhi rambut sangat tipis menjadi lebih tembem sekarang setelah ia hamil, agak berdenyut setelah tadi keluar sekali. Tanpa ragu-ragu aku membenamkan kepalaku di selangkangannya. Vany menggrunjal.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Kuciumi vagina adikku dengan nikmat. Wangi segar sekali. Perlahan, kujulurkan lidahku ke dalam vaginanya dan mulai menjilati dinding bagian dalam vagina Vany.
“Mmmnnn... Aaahh... Kakkk... Pelan... Oohh....” desah Vany, mencengkeram rambutku. Aku memainkan lidahku semakin liar di dalam vagina adikku. Vany mengejang.
“Kakkkkk.... KKAAKKK!!!”
Vany menjerit sambil squirting untuk kedua kalinya, menyiram wajahku dengan cairannya. Tubuhnya gemetaran hebat, nafasnya tersengal. Kulepas kaosku untuk mengelap wajahku yang basah kuyup.
“Hhh... Hhhh Kakk... Hhh...” dada dan perut Vany bergerak naik-turun menggiurkan, mengatur nafas.
“Ayo, giliran Kakak ya sekarang...” kataku sambil menegakkan diriku di hadapannya, menyodorkan penisku ke arah wajahnya.
Vany mengangguk, beringsut menegakkan diri perlahan. Perutnya yang besar membuatnya tak selincah dulu. Vany duduk bersender ke kepala ranjang, dan mengelus penisku perlahan. Dengan tatapan menggoda, Vany menjilati penisku yang sudah sangat tegang. Dijilatinya dengan lembut dari pangkal hingga kepalanya, kemudian Vany memutar-mutar lidahnya di kepala penisku.
“Mmm... Sllrpp... Kasian udah lama ga dijilat aku... Mmmm..” kata Vany manja. Aku nyengir sambil menahan nikmatnya.
“Ngghh... Sedot... Sedot aja sayang,” pintaku.
Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya, dan dengan ahli mengulumnya. Kepalanya bergerak maju-mundur. Enak sekali.
“Aahh... Vannn... Mmmmnnhh.... Kamu emang jago... Nggg...” desahku.
Vany menggerakkan lidahnya di bagian bawah penisku sambil terus mengulum dan menyedotnya kuat-kuat. Teknik oral sex adikku sudah sangat hebat sekarang.
“Mmmm... Sllrppp... Cppp... Tabah besal lagii.. Nagalll.. Sllrpp... (Tambah besar lagi... Nakal)” katanya dengan mulut penuh. Vany semakin mengencangkan sedotannya. Kalau seperti ini aku tak akan tahan lama.
“Ss.... Sayangg... Mau kuarr... Nnggghhh... Titt... F... uck aja...” desahku tak kuat.
“Oke...” katanya.
Vany menghentikan sedotannya dan memegang penisku. Ia mengarahkannya ke arah putingnya yang juga telah tegang, dan memainkan penisku di situ. Enak sekali rasanya.
“Vaann... Vannn... Nngghhh....” aku benar-benar tak tahan.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya menikmati. Vany meremas dadanya hingga air susu mengalir keluar dari kedua putingnya. Ini sudah keterlaluan.
“VaannnNNNNN!!!!” aku meledakkan spermaku berkali-kali ke atas dada adikku yang besar, ke leher dan wajahnya. Enak sekali. Vany menjilat sperma yang ada di sekitar bibirnya sambil mengocok penisku yang masih tegang perlahan.
“Mmm... Kakak ga seru nihh... Masa digituin aja langsung keluar...” ujarnya bercanda.
“Ya lagian kamu disuru titf*ck malah maen-maenin di puting kamu... Pake keluar susunya segala lagi... Mana tahan,” kataku membela diri. Vany nyengir lebar.
“Segitu sukanya ya aku titf*ck?” bisiknya perlahan. Tersenyum, kuletakkan penisku di belahan dadanya. Empuk dan lembut sekali, kulitnya sungguh-sungguh mulus. Vany menekan kedua dadanya yang luar biasa bulat dan besar, menjepit penisku di tengah, dan mulai menggerakkannya naik-turun.
“Ooohhh... Vannn... Ini enaakkk.. nngghh... banggett...” kataku dengan suara tercekat. Penisku terasa berdenyut-denyut di tengah bekapan dadanya. Sensasinya luar biasa karena bagian samping penisku terbungkus dadanya yang besar dan empuk sementara bagian bawahnya tertekan perutnya yang buncit dan keras. Benar-benar tak bisa dilukiskan nikmatnya.
“Mmmnnhh... Vannn.. Vann...” tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku yang hilang-timbul dari balik dadanya.
“Ngghh.. Vann.. Vann... Kakak mau.. keluarr... Mmmnnhhh...” aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Jepitannya terasa semakin kuat.
“Kuarin di mulutku ya, Kak...” katanya. Aku mengangguk-angguk.
Vany melepas jepitan dadanya dan segera menyedot penisku kuat-kuat. Aku menyemprotkan spermaku ke dalam mulutnya berkali-kali, rasanya tak mau berhenti. Mulut Vany terlalu mungil untuk menampung semuanya, sehingga sebagian menetes ke dagu dan dadanya. Penisku masih tegang. Tak ada tanda-tanda akan melemas sedikit pun. Badanku masih menginginkannya.
Vany menelan sperma kakaknya. Seksi sekali.
“Kamu selama kakak pergi sering nonton bokep ya?” tanyaku tiba-tiba.
“Hahahahaha.. Koq kakak tauu??” tanyanya polos.
“Gayanya udah persis gitu...” Vany terkekeh. Tangannya bergerak turun, mengelus perutnya yang buncit, dan merogoh vaginanya. Jemarinya membuka bibir vaginanya, memamerkannya padaku.
“Ayo Kak... Katanya pengen ngerasain...” godanya.
Aku tersenyum. Kuarahkan penisku ke vagina adikku, kumainkan bibir vaginanya yang tembem dengan kepala penisku.
“Nngg... Kaak... Ayoo masukiinn...” pintanya tak sabar.
“Iya iya ini yang udah ngebet siapa sih sebenernya..” candaku. Vany terbahak.
“Makanya cepett...”
Aku menunduk, mengecup perut adikku yang buncit dan mulus.
“Papi masuk ya...” kataku meminta izin pada anakku. Vany tertawa lagi.
“Kaakk... Ayoo...”
Tak perlu disuruh lagi, aku segera menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Hangat dan sempit sekali, lebih nyaman dari vagina-vagina lain. Vany menggrunjal, tangannya yang mungil mencengkeram seprei. Kugerakkan pinggulku perlahan di hadapannya.
“MMnnhhh!! Kakk... Aaahhh... Aahh.. Ahh..” desahnya tiap kali penisku menghantam mulut rahimnya. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan seirama tusukanku. Sesekali air susu merembes keluar dari putingnya.
“Vaann.. Nghh.. Nghhh... Jadii... Anget... Bangett.. Ahh...” kataku.
“Mmhhh.. Mnnhhh... Ahh.. Kakk.. Kak pelan.. pelaann...”
Aku meremas dada Vany yang penuh susu. Air susunya muncrat keluar, membasahi tanganku. Sambil terus menghujamkan penisku, aku menunduk, menyedot dan menjilat putingnya, meminum susu adikku yang manis.
“Aahh.. Ahhh.. Kakk... Kakkk... Mmnhhh... Mauu...” desahnya terbata. Wajahnya merah padam. Aku tahu Vany sudah hampir mencapai klimaksnya.
“Nnghhh... Keluarin.. Keluarin sayangg...” ujarku, mempercepat genjotanku.
Vany mencengkeram seprei kuat-kuat. Aku tahu jilatan dan kulumanku di putingnya semakin merangsangnya, sehingga kumainkan lidahku di atas puting kirinya yang super sensitif. Vany mengejang, tak tahan.
“Kaaakkkk... KAAKK!!!” Vany menjerit sambil squirting kuat-kuat. Air susunya menyemprot keluar ketika ia mencapai orgasme. Luar biasa sekali. Vaginanya pun menyempit drastis, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“MMhhh.. S... Sayangg.. Enakk bangettt... Ngghhhh...” bisikku.
“Kakk... Ahhhh... Ahh.. Hhh... Pelan... Pelann...” desah Vany di balik nafasnya yang tersengal. Keringat membanjiri tubuh kami. Tangannya merangkul leherku.
“Vann... Kamu.. Nghh... Tambah... Mmhh.. Sempit.. Tauu...”
“Aahh... Ahhh... Tapi.. Tapi ntar.. Bayinya... Sakit... Aahhh...” kata Vany sambil mengelus perutnya.
Aku tertegun.
“... Hhh... Hhh... Kenapa Kak?” tanya Vany heran karena aku tiba-tiba berhenti.
“... Hm? Oh... Nggak... Gapapa...” kataku, menggelengkan kepala. Ini persis dengan mimpiku berbulan-bulan lalu saat belum mengetahui bahwa adikku sedang mengandung anakku.
“Kurang kenceng, kah?? Oke bentar...” kata Vany. Tiba-tiba ia berkonsentrasi, mengetatkan jepitan vaginanya, dan mengeluarkan ‘jurus’nya: penisku seketika seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan.
“Nngggaahhhh... Vaann... Vann.. Vaannn... Kakakk... Ga bilang gitu...” kataku, menahan sensasi nikmatnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat.
“Mmhhh... M... Lagian... Tau-tau... Ahh.. Diem gitu...”
“Iya dehhh... Cepet deh... Mmmhhhh...” kataku, mempercepat hujamanku. Kulumat bibir adikku. Lidah kami saling berbelit, berdecak. Penisku sekali lagi diserang gelombang Vany, dan aku sudah tak tahan lagi.
“Mmmmwahh... VaannnnnnnNNNN!!!!” seruku sambil melepas ciuman. Aku mengeluarkan cairan putihku di dalam vaginanya berkali-kali. Vany mengencangkan vaginanya, membuat penisku serasa diperas.
Kucabut penisku saat masih belum berhenti keluar, dan meledakkan sisa sperma di atas perut adikku yang sedang hamil. Vany terbaring terengah-engah; cairan putih kental mengalir keluar dari dalam vaginanya membasahi pahanya dan ranjangku. Perutnya yang buncit, terlihat mengkilat karena keringatnya tertimpa cahaya lampu kamarku, bergerak naik-turun. Vany memejamkan mata, menikmati sensasi yang masih tertinggal.
Kududukkan diriku di sisinya. Penisku sudah linu, tapi masih tetap meminta lebih lagi. Vany menyenderkan kepalanya di bahu kakaknya. Kukecup kepala Vany.
“Masih mau lagi ya, Kak?” tanyanya saat melihat penisku yang masih tegak berdiri.
“Mungkin sekali lagi... Kamu udah capek belon?”
Vany menggeleng.
“Yuk... Anal?” tanyanya. Aku nyengir dan mengangguk. Vany beringsut menegakkan dirinya dan berjongkok di atas penisku, membelakangi aku. Kuremas pantatnya yang besar dan montok.
“Sekarang bahkan lebih besar dari Cherry...” kataku memuji.
“Kan hamil.. Ntar Cherry kalo hamil juga pasti lebih gede lagi...” katanya. Aku tertawa. Tak terbayang seberapa besarnya pantat sahabatku saat hamil nanti.
Kubuka bongkahan pantat adikku, menampakkan anusnya yang baru sekali dimasuki. Perlahan, Vany menurunkan pinggulnya ke atas pangkuanku, hingga penisku perlahan masuk ke dalam anusnya yang sempit. Sensasi lembut pantatnya dan sempit anus adikku membungkus penisku. Enak sekali.
“Mmmhhh... Vannn...” kataku sambil mulai perlahan menggerakkan pinggulku naik-turun.
“Ngghh... Kakk... Kalo bukan... Nhh... Kakak... Aku ga mau loh di anal... Mmhh...” ujarnya terbata. Vany menyenderkan punggungnya ke arahku.
“Mmhh.. Mmhh.. Tapi... Kamu... Suka kan...” kataku. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“Aahh.. Ahh... Nnhh... Se... Sekarang sih... Nggaahh.. Sukaa... Aaahh...” desahnya. Kuremas-remas dada adikku dengan nikmat, memeras air susunya hingga menyemprot-nyemprot keluar. Penisku menghujam ke dalam anusnya berkali-kali, semakin lama semakin cepat. Enak sekali, sempit sekali.
“NMmhh... Sayang... Ini sempit bangetttt... Mmmhhh....” kuciumi lehernya. Pinggul Vany mulai bergerak naik-turun juga, membantuku.
“Aaahh... Aaahh... Kakkk...” desah Vany sambil membelai perutnya. Tanpa sadar, tangannya merogoh ke arah vaginanya yang masih berlumuran spermaku dan mulai memasukkan jemarinya sendiri ke dalam.
Kumainkan, kucubit puting adikku yang tegang. Nafas kami seolah seirama sekarang. Erangan dan desahan memenuhi kamarku malam itu.
“Kakk... Aahhh... Kakk... Aaaahh... Ahh.. Keluar... Keluarrr...” desah Vany tak karuan. Jemarinya semakin cepat memainkan vaginanya sendiri. Genjotanku semakin kuat di anusnya.
“Bentar.. Bentarrr... Bentar Vann... Nnhh... Bar.... enggg.. Yuk...” kataku.
“Kaakk... Kakk... Ga kuatt... Nggahhh... GGHhh.!!!... Kaaakk... Kakakkkkk!!! KAAAK!!”
“Oke.. Ohhhh... VaannNNN!!! Vanyyy!!!”
Kami orgasme bersama. Kuledakkan berkali-kali spermaku ke dalam anusnya. Tanganku meremas kuat-kuat dada Vany hingga saat ia squirting, air susunya menyemprot kuat-kuat keluar, tak henti-henti.
Kami merosot lemas ke atas ranjang. Vany berguling ke sebelahku, terkulai. Anus dan vaginanya masih berlumuran sperma kakaknya. Kepalaku sakit sekali rasanya setelah keluar empat kali berturut-turut. Rasanya ML malam ini cukup untuk beberapa hari. Kupejamkan mataku. Kami langsung tertidur tanpa berkata apa-apa.
* * *
Aku terbangun tiba-tiba, kedinginan. Kulirik jam di dinding kamarku... Samar-samar... Pukul enam pagi. Pandanganku kabur, tapi sakit kepalaku telah hilang. Aku menoleh ke sisiku, tinggal seprei dan selimut kosong. Vany rupanya sudah bangun lebih dahulu.
“Ehh... Udah bangun...”
Aku menoleh, melihat Vany masuk dari arah pintu tembusan ke kamarnya, sedang mengancingkan kemeja putih SMPnya. Sepintas aku melihat kulit mulus perut hamilnya di balik kemeja itu.
“Mmhh... Mau berangkat sekolah?” tanyaku lemas.
“Yup!” ujarnya riang. Aku selalu heran pada semangat yang dimiliki adikku ini. Padahal malam sebelumnya kami habis-habisan ML. Pandanganku mulai jelas, dan menyadari bahwa tubuh Vany yang sedang hamil terlihat seksi sekali dalam balutan seragam putih-biru SMP.
“Oya Kak... Hari ini ada sparring basket juga pulang sekolah.. Aku mau nont...”
Kata-kata Vany terpotong. Aku telah memeluknya dari belakang dengan lembut. Kubelai perutnya yang buncit dengan kedua tanganku.
“Mmm? Napa, sayang...?” bisiknya riang. Ia mendongak, mengecup pipiku.
“Kamu seksi banget pake seragam sekolah...” bisikku di telinganya. Kukecup juga pipi Vany dengan lembut. Vany terkikik.
“Hihihi... Aku udah ngira kakak bakal bilang gitu...” katanya.
“Mm... Kamu ga boleh cape-cape loh di sekolah...” kataku menggoda sambil memegang dadanya dengan lembut. Vany mendesah pelan. “Mending di rumah...”
“Kak... Ntar aku telat lohh...”
“Kan sekolahnya deket...” bisikku sambil melepas kancing kemejanya perlahan. Kukecup belakang telinga adikku. “Kakak pengen minum susu dulu...”
“Hehehe... Ketagihan ya?” tanyanya, aku mengangguk.
“Mm... Gimana kalo kakak ntar dateng ke sekolah... Terus kita nonton basket bareng?” tawarku. Kuremas dada Vany dengan lembut. Aku merasakan puting adikku mulai menegang di balik BH putihnya.
“Hmmhh.. Boleh... juga...” desahnya. Kuangkat BH Vany hingga dadanya yang super besar jatuh keluar berguncang. Aku bergerak ke arah depan Vany dan mulai mengulum putingnya, menyedot dan meminum air susunya. Vany terduduk di atas kursi komputerku, memejamkan mata menikmati.
“Ngghh... Kakk... Kalo aku telat... Kakak yang tanggung jawab.. Ya... Mhh...” katanya sambil membelai rambut kakaknya.
Sambil mengelus perutnya yang buncit dan terus menyedot air susu adikku, aku berpikir tentang apa yang akan kami lakukan siang nanti di sekolah...
Subscribe to:
Posts (Atom)